kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembiayaan alat berat masih suram


Senin, 30 Maret 2015 / 09:45 WIB
Pembiayaan alat berat masih suram
ILUSTRASI. Cara mengembalikan postingan Facebook yang dihapus.


Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Pelonggaran ekspor mineral, terutama jenis pasir besi dan zirkonium, tak serta merta mengerek industri pembiayaan alat berat. Menurut prediksi Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), industri pembiayaan alat berat terancam melambat 5% hingga 10%.

Efrinal Sinaga, Sekretaris Jenderal APPI menjelaskan, pihaknya membutuhkan faktor pendorong yang kuat untuk menggerakkan lagi sektor alat berat pada tahun 2015 ini. Apalagi, penurunan harga komoditas, seperti kelapa sawit, semakin mengerem kinerja industri pembiayaan.

Menurutnya, peraturan pelonggaran ekspor mineral tak memberikan banyak perubahan bagi industri alat berat. Sebab, mayoritas kredit yang disalurkan oleh multifinance adalah untuk alat berat yang digunakan menambang nikel, emas, dan batubara.

"Kalaupun ada relaksasi tanpa melalui smelter, tidak semudah itu bagi multifinance masuk ke alat berat," ujar Efrinal akhir pekan lalu.

Efrinal berujar, perusahaan multifinance yang memiliki bisnis alat berat masih trauma dengan kebijakan pemerintah melarang ekspor mineral barang mentah. Sejak ekspor barang tambang diperketat tahun 2014 lalu, pembiayaan alat berat pun melambat dan kinerja semakin menurun.

Sekadar informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah kredit yang dialirkan ke sewa guna usaha tahun 2013 mencapai Rp 117,36 triliun. Setahun berikutnya, outstanding kredit yang dikucurkan ke industri alat berat turun 5,46% jadi Rp 110,95 triliun. Makanya, perusahaan yang fokus di alat berat mulai banting setir ke lini bisnis lain, seperti pembiayaan otomotif.

Menurut Efrinal, kebijakan pemerintah menggenjot infrastruktur juga tak banyak berkontribusi terhadap industri pembiayaan alat berat. Meski para pengusaha bisa merelokasi alat berat dari pertambangan ke infrastruktur, pertumbuhan pembiayaan alat berat sulit terjadi. "Ada tahap psikologis, (multifinance) tidak mau lagi kejadian seperti lalu-lalu," tukasnya.

Memperbaiki NPF

Kendati begitu, Efrinal menyarankan kepada para pelaku usaha pembiayaan alat berat agar memanfaatkan relaksasi aturan mineral untuk restrukturisasi utang-utang yang mandek. Alhasil, rasio pembiayaan bermasalah alias non performing finance (NPF) multifinance membaik.

Berdasarkan data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak tiga pelaku multifinance memiliki pembiayaan macet paling tinggi yakni 4,34%. Umumnya, perusahaan multifinance itu menyalurkan pembiayaan bagi sektor pertambangan.

Setali tiga uang dengan Efrinal, Suwandi Wiratno, Direktur Utama PT Chandra Sakti Utama Leasing, bilang, mayoritas perusahaan alat berat bergerak di sektor perkebunan, konsumsi, kehutanan, nikel, dan timah. Dus, kebijakan pemerintah tersebut tak berdampak signifikan.

Dalam dua bulan pertama tahun ini, CSUL masih merasakan dampak industri alat berat yang lesu. "Pembiayaan 10% di bawah bujet setiap bulan," jelas Suwandi.

Di sisi lain, dia berharap aturan OJK tentang perluasan usaha multifinance akan mendorong kinerja industri pembiayaan di tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×