kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Babak baru sistem pembayaran GPN


Kamis, 14 Desember 2017 / 14:27 WIB
Babak baru sistem pembayaran GPN


| Editor: Tri Adi

Mesin gesek electronic data capture (EDC) yang berjubel di meja kasir, puluhan mesin ATM yang bertebaran di pusat perbelanjaan dan koleksi kartu debit/kredit yang kerap membuat dompet lebih tebal, barangkali bakal menjadi pemandangan langka dalam beberapa tahun ke depan. Seiring dengan peluncuran Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang menjadi babak baru bagi sistem pembayaran di Indonesia.

Bank Indonesia secara resmi telah meluncurkan GPN pada tanggal 4 Desember 2017 lalu. Peluncuran tersebut sebagai tindak lanjut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/8/PBI/2017 perihal Gerbang Pembayaran Nasional. Sederhananya GPN adalah sistem yang mengatur instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. Melalui beleid ini, seluruh transaksi pembayaran ritel domestik akan dijalankan dengan interkoneksi (saling terhubung) dan interoperabilitas (saling dapat dioperasikan) antarkanal pembayaran di dalam negeri.

Sejumlah manfaat dapat dirasakan pasca implementasi beleid ini. Salah satunya ialah kewajiban perbankan untuk terhubung dengan paling sedikit dua lembaga switching paling lambat 30 Juni 2018. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi nasabah perbankan. Pihak penjual tidak perlu menyediakan banyak mesin EDC di tokonya dan pihak konsumen tidak perlu menyimpan banyak kartu debit/kredit dalam dompetnya. Apapun banknya, mesin dan kartunya tetap sama.

Kehadiran PBI GPN juga berimplikasi positif pada penurunan biaya operasional bank. Jika sebelumnya perbankan dan penerbit kartu harus membayar komisi ke prinsipal asing karena routing atau penerusan data transaksi pemrosesan pembayaran dilakukan di luar negeri, maka ke depan seluruh kegiatan akan diselesaikan di dalam negeri. Menteri BUMN Rini Soemarmo menyatakan fee yang harus dibayarkan ke satu prinsipal asing bisa mencapai US$ 300 juta per tahun.

Pemrosesan domestik ini juga dapat dipandang sebagai salah satu upaya menjaga kedaulatan negara kita dari sisi keamanan informasi. Dengan adanya proses routing oleh lembaga switching domestik, maka keamanan data transaksi masyarakat akan lebih terjaga. Jika data transaksi diproses di luar negeri, tentu akan sangat berisiko karena sudah berpindah yurisdiksi dan otoritas.

Efisiensi biaya operasional perbankan juga dapat berasal dari penerapan prinsip ekonomi berbagi (sharing economy). Seiring adanya sistem interkoneksi dan interoperabilitas, perbankan dapat saling bekerja sama untuk membiayai pengadaan infrastruktur sistem pembayaran, seperti mesin ATM dan EDC.

Dengan biaya yang lebih efisien, maka komisi transaksi yang dibebankan perbankan kepada nasabah juga akan semakin berkurang. Bank Indonesia menghitung biaya transfer antar bank bisa dipangkas dari Rp 6.500 menjadi Rp 4.000 per transaksi dan biaya merchant discount rate (MDR) pada kartu ATM/debet akan turun dari 2%-3% menjadi 1% per transaksi.

Dalam konteks makro, beleid ini memberikan keuntungan ekonomis bagi negara kita. Di samping penghematan devisa, beleid ini juga diharapkan dapat mengundang masuknya investasi swasta domestik dan asing. Seiring dengan kewajiban pemrosesan seluruh transaksi pembayaran dilakukan di dalam negeri, praktis ketergantungan terhadap prinsipal asing dapat berkurang dan secara tidak langsung mereka diwajibkan menjalin kerja sama dengan lembaga switching domestik jika masih ingin terus menjalankan bisnisnya di Indonesia.

Tidak hanya itu, beleid ini juga membuka peluang usaha pendirian lembaga switching baru di Indonesia. Sesuai dengan PBI tentang GPN, perbankan wajib terhubung dengan minimal dua lembaga switching. Ketika ketentuan tersebut diterbitkan pada Juli 2017, baru terdapat satu lembaga switching yang sudah mendapatkan izin GPN. Namun kini, sudah terdapat empat lembaga switching, yaitu PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama), Rintis Sejahtera (ATM Prima), PT Daya Network Lestari (ATM Alto) dan PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN).

Prinsipal kartu kredit

Masih ada satu mimpi bersama yang belum terealisasi, yaitu kehadiran prinsipal kartu kredit nasional. Transaksi kartu kredit di Indonesia saat ini masih didominasi oleh prinsipal kartu kredit asing, yaitu American Express, JCB, Mastercard, Visa Card dan China Union Pay.

Jika ditelisik ke belakang, harus diakui Indonesia terlambat dalam mengadopsi ketentuan GPN. Beberapa negara di kawasan Asia tercatat telah terlebih dahulu menerapkan GPN, sebut saja Singapura dengan NETS (1985) dan China dengan Union Pay (2002).

Urgensi pembentukan prinsipal kartu kredit nasional tentu tidak terlepas dari besarnya frekuensi pembayaran transaksi menggunakan kartu kredit. Statistik Sistem Pembayaran Bank Indonesia mencatat jumlah transaksi kartu kredit sepanjang 2016 sebanyak 281 juta transaksi atau tumbuh 54% dibandingkan tahun 2011 yang baru menjadi 183 juta transaksi.

Bank Indonesia memperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat hingga mencapai 407 juta transaksi pada 2020. Pasca penerbitan PBI GPN yang notabene akan membuat sistem pembayaran semakin mudah dan efisien, ditambah dengan besarnya potensi pasar kartu kredit di Indonesia, sudah seharusnya industri  perbankan domestik tidak ketinggalan garap peluang tersebut.

Sebelumnya, Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) telah resmi menggandeng PT Telkom Indonesia untuk membentuk perusahaan prinsipal kartu kredit nasional. Meskipun didirikan oleh Himbara, namun nasabah perbankan secara umum harus ditempatkan di atas ego kelembagaan perbankan. Artinya, kehadiran perusahaan prinsipal kartu kredit tersebut seyogyanya tidak hanya ditujukan untuk melayani kepentingan perbankan BUMN saja, namun juga untuk memfasilitasi kebutuhan perbankan swasta.

Di lain pihak, bagi perbankan swasta domestik yang memiliki modal besar, opsi untuk mendirikan perusahaan prinsipal kartu kredit, baik secara mandiri maupun kerja sama dengan pihak lain merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam jangka menengah panjang. Dengan semakin banyak perusahaan prinsipal kartu kredit nasional yang ada, maka akan timbul persaingan yang membuat industri semakin efisien. Pada akhirnya, tentu nasabah perbankan yang akan diuntungkan.

Kehadiran prinsipal kartu kredit nasional seharusnya tidak dilihat hanya sekadar untuk meraup keuntungan semata, namun yang lebih prinsip adalah kehadiran prinsipal kartu kredit nasional dapat menjadi kebanggaan dan simbol kemandirian Indonesia di bidang sistem pembayaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×