kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI harus patuhi rekomendasi DPR mengenai outsourcing


Rabu, 05 Oktober 2011 / 11:52 WIB
BI harus patuhi rekomendasi DPR mengenai outsourcing
Jaga kesehatan di tengah Covid-19, ini pedoman WHO untuk aktivitas fisik orang dewasa.


Reporter: Roy Franedya, Nina Dwiantika |

JAKARTA. Rancangan peraturan Bank Indonesia (PBI) alih daya tak memuaskan Komisi XI DPR RI. Mitra kerja bank sentral itu menilai, kebijakan BI membolehkan outsourcing secara terbatas dan ketat, bertentangan dengan rekomendasi DPR dalam kasus Citibank, April 2011 lalu.

Salah satu isi rekomendasi itu menyebutkan, BI harus menghapus outsourcing untuk pekerjaan inti bank, terutama bagian penagihan utang atau debt collector. Sikap ini merupakan buntut kematian Irzen Octa, nasabah kartu kredit Citibank. "Kami tetap tak membolehkan perbankan menggunakan jasa pihak ketiga penagih utang," tegas Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz, Selasa (4/10).

Menyikapi perkembangan ini, DPR akan memanggil BI untuk melakukan evaluasi. DPR akan menagih komitmen BI mematuhi isi rekomendasi tersebut. "Tujuan kita kan mulia, bagaimana BI membuat kebijakan yang dapat melindungi nasabah dan bank secara berimbang," kata politisi Partai Golkar itu.

Maruarar Sirait, anggota Komisi XI DPR, juga tak habis pikir dengan sikap BI. "Mengapa, sih, BI keberatan menghapus outsourcing debt collector. Apa susahnya?" kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, dengan nada bertanya. Setelah mendengarkan penjelasan BI, Komisi XI akan menyiapkan langkah berikutnya.

Jika penjelasannya terkait efisiensi bank, DPR keberatan. Bank tidak bisa mencetak untung setinggi mungkin, dengan menekan biaya buruh. Lagi pula, bank mempunyai kemampuan mencetak laba.

Lihat saja, selisih antara bunga deposito dan bunga kredit yang mencapai 5% - 6%. "Sebagai otoritas, BI memang independen dan kami tidak berhak mengintervensi. Tapi, sebagai partner, kami berhak mempertanyakan," kata dia.

Dalam draf PBI alih daya, BI membolehkan outsourcing untuk kategori pekerjaan pendukung usaha. Jadi, profesi seperti teller, costumer service, marketing kredit, telemarketing dan penagihan utang (debt collector), boleh diserahkan ke pihak ketiga. Tapi, BI mewajibkan bank menyusun SOP dan menerapkan manajemen risiko (Harian KONTAN, 4 Oktober 2011).

Menekan biaya

Perbankan tentu menyambut baik sikap bos besar mereka itu. Industri merasa sangat membutuhkan jasa alih daya untuk mengerjakan non-operasional. Pengalihan ini juga dapat menekan biaya bank, sehingga semakin efisien. Ujungnya, menurut mulut manis para bankir, bunga kredit bisa rendah.

Sekretaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI), Muhammad Ali mengatakan, BRI menganggarkan Rp 6 triliun – Rp 7 triliun per tahun untuk biaya pegawai. Tahun lalu, biaya tenaga kerja alihdaya BRI Rp 1,33 triliun dan selebihnya tenaga kerja tetap. Jika tenaga alih daya dihapus, biaya membengkak. "Hingga Juni 2011 biaya tenaga kerja alih daya Rp 729 miliar" katanya.

Direktur Kepatuhan dan SDM Bank Mandiri, Ogi Prastomiyono mengatakan, biaya tenaga alih daya di banknya sebesar Rp 800 miliar per tahun. Sedangkan biaya tenaga kerja inti antara Rp 5 triliun - Rp 6 triliun. Hingga Agustus 2011, biaya tenaga kerja inti sebesar Rp 3,5 triliun dan alih daya Rp 411 miliar.

Mandiri membagi dua jenis pekerjaan alih daya: inti dan borongan. Tenaga kerja outsource inti antara lain petugas keamanan, office boy, pengemudi dan sales. Sedangkan borongan itu seperti cleaning service, pengirim surat dan jasa penagih utang.

Aloysius Uwiyono, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, menyayangkan sikap BI yang mempertahankan outsourcing. Regulator perbankan ini hanya menambah daftar industri yang salah kaprah memaknai UU Ketenagakerjaan.

Menurut dia, outsourcing hanya dibenarkan jika ada pengalihan pekerjaan dari perusahaan penyedia ke pengguna. Semantara yang berlansung saat ini penyerahan buruh, bukan pekerjaan. "BI dan industri tidak bisa menjadikan efisiensi sebagai alasan pembenaran,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×