kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri keberatan dengan Iuran OJK


Kamis, 27 Oktober 2011 / 10:15 WIB
Industri keberatan dengan Iuran OJK
ILUSTRASI. Sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan BBM ramah lingkungan


Reporter: Mona Tobing, Nina Dwiantika, |

JAKARTA. Industri perbankan keberatan dengan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memungut iuran dari bank. Mereka beralasan, ketentuan ini bukan sekadar meningkatkan biaya bank, juga mengganggu independensi dan kredibilitas OJK sebagai pengawas. Sebab, objek yang diawasi membiayai pengawasnya.

Andaikan usulan iuran itu tak terbendung lagi, bankir berharap, besarannya jangan sampai lebih tinggi dari premi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni 0,2% per tahun dari total dana pihak ketiga (DPK). Selain itu, OJK perlu mempertimbangkan profil risiko dan karakteristik tiap bank. Jadi, jangan pukul rata. "Kalau perlu fee untuk LPS dibagi dua saja dengan OJK," kata Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), Rabu (26/10).

Menurut Sigit, agar tidak membebani industri, lebih baik porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk OJK diperbesar. Jika terlalu dibebankan ke industri perbankan, nasabah juga yang rugi karena bank akan mendistribusikan tambahan bebannya kepada pemilik rekening, baik dalam bentuk biaya administrasi atau sejenisnya.

Sekadar informasi, OJK bakal memperoleh dana sekitar Rp 300,42 miliar dari APBN pada tahun pertama. Anggaran ini untuk biaya pembentukan organisasi, perekrutan personel dan menunjang kegiatan lain-lain.

Tahun berikutnya, menurut RUU OJK yang akan disahkan hari ini (27/10), OJK dibiayai dari APBN dan iuran industri keuangan termasuk bank. Opsi ini lebih baik ketimbang rancangan sebelumnya, yang mewajibkan industri keuangan menanggung semua beban anggaran OJK.

Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) Gatot M. Suwondo, mengatakan, OJK tidak perlu memungut iuran. Ini untuk menjaga objektivitas OJK dalam melakukan pengawasan. "Kalau diwajibkan berarti ada kontradiksi," tutur Direktur Utama BNI ini.

Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto juga menyuarakan harapan serupa. Iuran ini akan membuat BPR tidak efisien. BPR sudah pasti mengompensasi iuran itu ke bunga kredit, dan ujung-ujungnya nasabah pula yang akan menanggungnya. "Sebaiknya, sumber dana OJK dari APBN," ucap Joko.

Rudy Hamdani, Direktur Konsumer OCBC NISP, menambahkan, pengenaan terlalu banyak fee bagi perbankan juga tidak sehat untuk industri. Kendati begitu, OCBC siap menjalankan ketentuan baru ini kelak.

Rudy hanya berharap besarannya tidak lebih besar daripada premi LPS. "Kalau fee ke LPS sudah jadi kewajiban dan itu menyangkut asuransi dana nasabah, jadi tidak ada masalah," terang Rudy.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis menjelaskan, penentuan rasio fee akan ditentukan Dewan Komisioner terpilih. Rumusnya, jika iuran diperkecil, alokasi di APBN perlu diperbesar.

DPR akan mengundang asosiasi perbankan untuk membahas fee yang diusulkan dewan komisioner OJK. Pada forum itu, bisa saja DPR, OJK dan industri membuat perbedaan penghitungan berdasarkan kelompok bank. "Iuran juga belum tentu dibayar pada 1 Januari 2013 karena perlu dibentuk PP," terang Harry.

Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Kosasih menyampaikan, opsi iuran yang berkembang saat ini berkisar antara 0,2%-0,5% dari total simpanan dana pihak ketiga. Saweran ini untuk membiayai OJK dalam melakukan pemeriksaan bank. "Bank membayar yang mengawasi," katanya. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×