kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah cara produk UKM naik kelas


Kamis, 31 Agustus 2017 / 23:04 WIB
Inilah cara produk UKM naik kelas


Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - Setiap pengusaha pasti mendambakan bisnis yang ia rintis bisa berkembang menjadi besar. Tak terkecuali mereka yang bergerak di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Namun, merintis usaha hingga tumbuh dan berkembang besar tentu bukan perkara mudah.

Agar usaha kecil bisa berkembang sesuai keinginan, tentu membutuhkan strategi jitu dan kiat-kiat khusus. Dalam mengembangkan usaha, banyak juga aspek penting yang perlu diperhatikan agar usaha bisa terus berkembang. Termasuk hal-hal yang kesannya kecil dan sepele, tapi krusial.

Persoalannya, banyak pelaku usaha yang sering mengabaikan  hal-hal kecil tersebut. Padahal,  jika diberi perhatian serius, justru sangat membantu dalam perkembangan usaha. Contohnya persoalan yang menyangkut tampilan kemasan produk.

Tidak semua pelaku bisnis menyadari bahwa kemasan produk memberikan pengaruh besar terhadap penjualan. Selama ini, banyak pelaku usaha hanya fokus menciptakan suatu produk, namun tidak memperhatikan kemasan. Kemasan yang sering digunakan hanyalah kemasan plastik biasa yang tidak berbeda dengan kebanyakan pelaku bisnis lain.

Diah Arfianti, pemilik Diah Cookies di Surabaya, adalah salah satu pelaku usaha yang sudah membuktikan pentingnya kemasan dalam mengembangkan bisnis. Usaha kue kering yang dia rintis sejak tahun 2001, awalnya hanya menerima pesanan secara musiman saja, yakni pada momen Lebaran, Natal, dan Imlek. 

Di tahun 2010, saat sang suami kena pemutusan hubungan kerja (PHK), mau tak mau Diah harus menjadikan usaha kuenya sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Tak ayal, Diah harus memperbaiki resep agar kuenya mampu bersaing dengan kue kering produsen lainnya. Walau rasanya sudah siap beradu, kelasnya tetap berada di kelas C dan D karena Diah hanya menggunakan kemasan toples dan stiker. 

“Saya mulai mengubah kemasan tahun 2012 saat ikut program pemerintah kota, diberi tahu kalau kemasan produk bisa menaikkan segmen pasar, sehingga omzet juga naik,” kata Diah kepada KONTAN. 

Dari situ ia pun mulai mengubah kemasan produk dengan menambahkan boks karton untuk masing-masing toples kuenya. Tentu boks karton yang digunakan sudah didesain dengan gambar dan brand Diah Cookies agar lebih berkelas.

Diah bilang, untuk pengadaan kemasan boks ini dirinya harus merogoh modal Rp 10 juta sampai Rp 20 juta. Soalnya, dia harus memesan boks hingga 20.000 pieces agar harganya lebih murah. “Ongkos produksi jadi naik Rp 3.000-Rp 4.000 per toples untuk tambah kemasan boks itu,” ujar Diah.

Selain itu, Diah juga membeli mesin vakum untuk membungkus camilan buatannya senilai Rp 300.000. Ini belum termasuk biaya membeli desain produk. Beruntung Diah mendapat bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya. Melalui program Tata Rupa, ia tidak mengeluarkan dana untuk membayar desainer kemasan produk. 

Dian mengaku, seluruh biaya yang dikeluarkan berbanding lurus dengan keuntungannya. Sebelumnya menjual kue kering di harga Rp 65.000 per toples ukuran 500 gram, kini dengan kemasan baru dia menjualnya di harga Rp 85.000 per toples.

Selain harga, penjualan juga turut meningkat. “Saya pikir pembeli lama pergi, tapi justru dengan mengubah kemasan, pembeli lama maklum dan dapat pembeli baru,” kata Diah. 

Paling terasa saat momentum Lebaran, Penjualannya naik menjadi 20.000 boks selama Ramadan sampai Lebaran. Omzetnya? Tentu naik berkali-kali lipat. Saat Lebaran, Diah mengaku meraup omzet sekitar Rp 1 miliar. Begitu juga margin atau keuntungan ikut terdongkrak. Biasanya Diah hanya mengantongi margin sekitar 30% sampai 35% per kemasan, di musim ramai itu naik menjadi 40% - 45%. 

Produk kerajinan
Bukan hanya makanan yang perlu tampilan kemasan menarik agar kelasnya naik. Produk kerajinan tangan juga perlu dikemas menarik agar diterima oleh pasar. 
Seperti halnya yang dilakukan oleh Wiwit Manfaati yang memproduksi aneka kerajinan berbahan dasar eceng gondok di Surabaya. Meski berbahan dasar limbah tanaman liar seperti eceng gondok, tidak mustahil kemasan dapat mengubah persepsi orang soal produk. 

“Pandangan pertama itu penting agar orang tertarik dengan produk kita, makanya kemasan yang baik jadi penting,” ujar Wiwit yang merintis usaha sejak tahun 2008 silam. 
Untuk menaikkan kelas produknya, Wiwit menambah kemasan boks pada produk tas berbahan dasar eceng gondoknya. Selain itu, ia juga memberi label di tiap produk buatannya. 

Dengan cara ini, orang lebih mudah mengenal nama produk besutannya. “Saya rebranding produk, awalnya asal saja namanya Wiwit Collection, tapi saran desainer namanya harus diubah supaya punya nilai jual ke segmen atas,” katanya. 

Wiwit pun mengubah namanya menjadi Witrove. Trove yang artinya wadah yang berisi benda-benda bernilai dan bagus pun dipilih untuk mengganti kata collection. Sebab, selain memproduksi tas, sepatu dan sandal, Wiwit juga membuat aneka perabot rumah tangga seperti kursi dan meja berbahan dasar eceng gondok. 
Untuk mengubah kemasan menjadi lebih mewah, Wiwit memberikan name tag atau gantungan nama di tiap-tiap produk. “Jadi kalau konsumen menjadikan produk kami  untuk bingkisan atau kado, tidak malu-maluin,” ujar Wiwit. 

Total modal yang harus Wiwit setor untuk menambah kemasan mencapai Rp 15 juta. Modal itu dipakai untuk mencetak desain name tag dan boks masing-masing sebanyak 7.000 buah. 

Dengan mengubah desain kemasan, harga produknya pun terkerek. Biasanya satu tas anyaman Wiwit hanya dihargai Rp 200.000. Sekarang, untuk model dan kualitas yang sama, harganya bisa mencapai Rp 500.000 per buah. Sementara produk perabot rumah tangga seperti kursi kotak untuk satu orang dihargai Rp 1 jutaan. 
Mengubah desain kemasan produk saja tidak cukup. Namanya berbisnis, pengusaha juga harus tetap berinovasi. 

Seperti Diah yang juga membuat jenis kemasan lain agar bisa mengirim produk ke luar kota lewat jalur udara dan darat. Selain menyediakan toples berbalut boks, ia juga membuat kemasan kue kering berbungkus satuan. Masing-masing kue kering ini dimasukkan ke dalam kemasan boks. “Tidak pakai toples, jadi aman kalau dikirim ke luar kota,” kata Diah.

Bukan hanya kemasan, Diah juga gencar menjajaki varian resep kue terbaru. Selain menjual aneka kue kering, kini dia juga sedang uji coba mengaplikasikan resep kue kering menjadi bentuk cake.

Menurutnya, kemasan dan inovasi produk sama pentingnya dalam menarik minat konsumen. Sama halnya dengan Diah, Wiwit juga gencar melakukan inovasi produk. Agar konsumen tidak jenuh, ia selalu mengeluarkan tema berbeda setiap tahun. “Dengan cara itu, pelanggan juga akan menunggu keluaran terbaru, produk kami bisa menjadi koleksi,” kata Wiwit yang mulai memasarkan produknya ke luar negeri. 

Inovasinya tidak terbatas pada desain produk saja. Ia juga terus mencari cara agar kualitas produknya lebih awet dan tahan lama. Selain menjemur bahan baku eceng gondok, Wiwit juga menggunakan belerang agar produknya lebih tahan lama. 

Inovasi lain dari sisi manajemen pemasaran. Sebab, naiknya kelas produk menyasar segmen atas membutuhkan layanan pemasaran yang lebih bagus. Antara lain dengan membuat digital branding lewat website khusus bahkan mengeluarkan bujet untuk beriklan. Nah,  bagaimana dengan produk Anda?
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×