kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nasabah bakal kena pajak, AAJI berencana ajukan judicial review omnibus law ke MK


Kamis, 11 Maret 2021 / 19:45 WIB
Nasabah bakal kena pajak, AAJI berencana ajukan judicial review omnibus law ke MK
ILUSTRASI. Petugas kebersihan membersihkan logo-logo perusahaan asuransi jiwa di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Jakarta, Selasa (27/10). KONTAN/Carolus Agus Waluyo/27/102/2020.


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengenakan pajak penghasilan (PPh) kepada pemegang polis asuransi sebagaimana tertuang dalam omnibus law atau Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Rencana pemajakan itu mendapat tanggapan dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengungkapkan, pemajakan itu dikenakan kepada pemegang polis yang mendapatkan keuntungan dari manfaat polis yang mereka terima. 

Namun asosiasi mempermasalahkan klausul omnibus law yang dinilai kurang pas. Misalnya saja, kata dia, pada satu pasal tertulis bahwa nasabah asuransi endowment dikenakan pajak. Sebaliknya, pada keterangan selanjutnya justru tidak dikenakan pajak. 

Baca Juga: Gelar rights issue hingga tak bagi dividen, ini rencana penguatan modal Bank BTN

"Dalam aturan yang sama tapi memiliki perbedaan. Ini yang menimbulkan dispute (perdebatan) di lapangan. Beberapa konsultan pajak bahkan tanya ke kita, kenapa ini dipajakin," kata Togar, pekan lalu.

Untuk memperjelas ketentuan itu, asosiasi sepakat akan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena omnibus law sudah masuk UU. Sehingga tidak bisa diselesaikan dengan aturan di bawahnya. "Ini mesti diselesaikan dengan jelas supaya bisnis asuransi jiwa juga punya kejelasan dan kepastian baik dalam menjalankan bisnis maupun pemegang polis," ungkapnya. 

Menurut Togar, jika pajak itu tetap diterapkan, akan kesulitan untuk menghitungkan berapa besar pajak yang dikenakan. Sebab, polis asuransi jiwa bersifat jangka panjang mulai dari 15 tahun, 20 tahun hingga seumur hidup. 

Selain itu, perusahaan asuransi akan terbebani untuk menyampaikan pemajakan itu ke nasabah. Akibatnya, mereka harus membuat sistem mengenai berapa jumlah premi dan manfaat yang akan diterima nasabah. 

Baca Juga: 73% Nasabah bancassurance Jiwasraya setujui restrukturisasi

Sementara itu, Deputi Direktur Pengawasan Asuransi OJK Kristianto Andi Hadoko mengaku telah mengetahui rencana asosiasi untuk mengajukan judicial review karena sudah ada pembicaraan sebelumnya. "Kami memahami rencana dari AAJI. Jadi kita jalani prosesnya karena konstruksi hukum seperti itu, kalau ada yang kurang pas di UU bisa diberi kesempatan untuk mengajukan judicial review," ungkapnya. 

Jika melihat pasal 4 omnibus law tertulis bahwa objek pajak adalah penghasilan berupa tambahan ekonomis yang diterima wajib pajak, termasuk dalam bentuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan premi asuransi. 

Selain itu dalam omnibus law, pengecualian objek pajak berubah menjadi pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa. Hal ini menyiratkan, jika pemegang polis tidak tiga peristiwa tersebut tapi melakukan klaim maka pembayaran manfaat bisa menjadi objek PPh.

Selanjutnya: Pendirian IFG Life tinggal tunggu izin operasional dari OJK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×