kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Standardisasi kunci daya saing tenaga kerja RI


Selasa, 28 Februari 2017 / 18:00 WIB
Standardisasi kunci daya saing tenaga kerja RI


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia melalui pemberian sertifikasi profesi menjadi strategi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menekan keberadaan Tenaga Kerja Asing. "Sertifikasi kompetensi dapat digunakan sebagai instrumen mengurangi jumlah tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia," kata Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri dalam rilisnya kepada KONTAN, belum lama ini.

Peningkatan ketrampilan dan sertifikasi menjadi upaya meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia. Sebab menurut data BPS, pada tahun 2016 angkatan kerja lulusan setingkat SD/SMP mencapai 60,24% dari angkatan kerja yang bekerja sebanyak 118,41 juta. Sementara lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi secara berturut-turut adalah 27,52% dan 12,24%.

Sedangkan menurut data Kemnaker jumlah TKA secara nasional dalam lima tahun terakhir adalah, tahun 2011 total TKA dari semua negara mencapai sebanyak 77.307 orang. Tahun 2012 sebanyak 72.427 orang, tahun 2013 sebanyak 68.957 orang, tahun 2014 sebesar 68.762 orang, tahun 2015 sebanyak 69.025 orang, dan sampai akhir 2016 sebanyak 74.183 orang. 

Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah akan semakin gencar mendorong pendidikan dan pelatihan vokasi. Dengan pelatihan vokasi diharapkan kebutuhan tenaga kerja terampil sebanyak 113 juta sebagai syarat Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 dapat terwujud.

Menurut Hanif, guna mempercepat peningkatan kompetensi tenaga kerja, peran dunia usaha dibutuhkan terutama untuk pelatihan kerja. Dengan kompetensi tersebut, penciptaan tenaga kerja tidak hanya mengejar kuantitas tapi daya saing. Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah melalui Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah juga didorong untuk bekerjasama dengan dunia usaha. “Kalau pelatihan kerja tidak digenjot, Indonesia bisa kalah.” ujarnya.

Agar SDM Indonesia dapat bersaing dengan TKA, maka perlu standar kompetensi yang diakui secara nasional dan internasional. "Sehingga SDM Indonesia bisa bersaing dengan tenaga kerja asing," ucap Hanif, saat meluncurkan Lembaga Sertifikasi Profesi Pertamina (LSP Pertamina) beberapa waktu lalu. 

LSP Pertamina adalah salah satu lembaga sertifikasi kompetensi bagi  profesional di industri energi. Selain LSP Pertamina, sampai akhir tahun lalu ada 632 LSP lain yang terekomendasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Rinciannya 10 di universitas, Politeknik ada 39 LSP, SMK ada 314 LSP, sisanya di lembaga lain dan perusahaan swasta.

Menurut Plt Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), Doni Palli, untuk memastikan kompetensi, integritas, imparsialitas lembaga sertifikasi person dan keabsahan sertifikat person yang diterbitkan, persyaratan internasionalnya dinyatakan dalam ISO/IEC 17024 yang saat ini sudah diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI). 

Dalam sertifikasi itu, menurut Donny, BSN berperan dalam memonitor perkembangan ISO/IEC 17024 dan bila diperlukan melakukan revisi. BSN melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN) juga memberikan akreditasi kepada lembaga sertifikasi person. “Saat ini sedang proses harmonisasi dengan BNSP,” katanya ke KONTAN, akhir pekan lalu. 

Donny menambahkan, beberapa LSP karena permintaan klien memerlukan pengakuan internasional terhadap sertifikat kompetensinya. Untuk itulah diperlukan join asesment antara KAN dan BNSP. Menurut Donny, skema tersebut saat ini sedang dikembangkan antara KAN dan BNSP. “Saat ini LSP yang sudah berhak menggunakan simbol KAN ada 9 LSP, dan ada 5 lagi dalam proses. BLK sampai saat ini belum,” katanya.

Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN Zakiyah menambahkan, BSN saat ini juga sedang mengejar penyelesaian standar untuk bisa bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Kalau dilihat dari standarnya, dari 255 standar yang perlu diharmonisasi, BSN sudah menyelesaikan 207 standar, 25 dalam proses dan 23 yang masih perlu di rumuskan. Tahun ini insyaAllah sisanya 23 standar selesai,” katanya. 

Dia menambahkan, berbicara standardisasi maka harus mulai dari perencanaan, perumusan hingga penerapan standar. Oleh karena itu BSN perlu melakukan identifikasi kebutuhan SNI yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dan dunia usaha. 

Menurutnya dengan kemajuan dan meingkatnya pengetahuan dan informasi masyarakat, dunia usaha sekarang hati hati dalam bertindak karena kontrol masyarakat dan pasar semakin kuat atas produk dan aktivitas mereka. “Kalau dilihat dari animo permintaan standar,  jumlah sertifikat penilaian kesesuaian  terus bertambah dari tahun ke tahun. Ini akan member efek ganda dimana pemasok atau vendor  juga harus menerapkan standar yang sama,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×