kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aset industri keuangan non-bank (IKNB) tembus Rp 2.390 triliun


Selasa, 09 April 2019 / 15:53 WIB
Aset industri keuangan non-bank (IKNB) tembus Rp 2.390 triliun


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aset Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) terus tumbuh subur. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Februari 2019, aset industri IKNB tembus Rp 2.390,19 triliun.

Jumlah tersebut meningkat 6,14% dibandingkan Februari tahun lalu yakni Rp 2.251,87 triliun. Adapun aset sebesar Rp 2.390,19 triliun berasal dari aset konvensional Rp 2.289,81 dan syariah Rp 100,38 triliun. 

Jika dilihat dari sektor usaha, industri asuransi masih mendominasi sebagai besar jumlah aset yaitu 53,3% dari total aset. Disusul lembaga pembiayaan 24,6%, dana pensiun 11,7%, lembaga keuangan khusus (LKK) 9,8%, jasa penunjang 0,4% dan sisanya Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Maka dengan jumlah aset yang mencapai angka ribuan triliun ini membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan sejumlah aturan dan perangkat pengawasan agar bisnis di IKNB tetap terjaga.

Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi mengatakan, otoritas tengah melakukan transformasi untuk memperbaiki sistem pengawasan mulai dari pelaporan sampai proses peningkatan kualitas usaha para pelaku industri.

“Kami mengukur tingkat kesehatan keuangan mereka supaya menjadi peringatan awal dari para regulator. Itu usaha yang perlu kami perhatikan,” kata Riswinandi di Jakarta, ketika ditemui beberapa waktu lalu.

Pihaknya akan menyiapkan aturan baru sesuai kebutuhan. Misalnya, awal tahun lalu otoritas telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Kemudian disusul POJK Nomor 10/POJK.05/2019 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah Dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan.

“Aturan ini mengharuskan perusahaan mempunyai rencana bisnis detil sehingga bisa diawasi selama periode berjalan untuk diverfifikasi. Tetapi tetap kami kasih kesempatan tiap tengah tahun untuk merevisi rencana bisnis supaya ini berjalan dinamis,” jelas Riswinandi.

Riswinandi mencontohkan, jika perusahaan belum penuhi syarat kesehatan keuangan maka regulator memberikan sanksi mulai dari surat peringatan (SP), Pembekuan Kegiatan Usaha (PKU) hingga Cabut Izin Usaha (CIU).

“Untuk kondisi kesehatan keuangan perlu dipenuhi. Jika tidak, kami kasih peringatan sampai batas waktunya kemudian dipanggil ke OJK,” ungkapnya.

Menurutnya, pembuatan regulasi tidak bisa datang dari inisiasi OJK sendiri, tetapi juga harus berasal dari dorongan pelaku industri. Alhasil, pembuatan regulasi ini memerlukan proses panjang dan kajian matang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×