kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

NPL meningkat, laba BRI hanya tumbuh 5,4% di kuartal III-2019


Kamis, 24 Oktober 2019 / 12:27 WIB
NPL meningkat, laba BRI hanya tumbuh 5,4% di kuartal III-2019
ILUSTRASI. Bank Rakyat Indonesia (BRI): Suasana Bank Rakyat Indonesia (BRI)


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang akhir tahun, pertumbuhan laba PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tercatat melandai. Per September 2019 bank terbesar di tanah air ini cuma mencatat pertumbuhan laba sebesar 5,36% (yoy) dengan nilai Rp 24,80 triliun.

Pertumbuhan tersebut tercatat lebih kecil dibandingkan yang diraih pada Juni 2019 lalu sebesar 8,19% (yoy) dengan nilai Rp 16,16 triliun.

Direktur Utama BRI Sunarso menyatakan landainya pertumbuhan laba BRI disebabkan oleh meningkatnya pencadangan yang dibentuk akibat membengkaknya rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL).

“NPL gross kami secara konsolidasi meningkat dari 2,54% di kuartal III-2018 menjadi 3,08% di kuartal III-2019. Sedangkan secara individual juga meningkat dari 2,46% di kuartal III-2018 menjadi 2,94% di kuartal III-2019,” kata Sunarso dalam paparan publik BRI, Kamis (24/10) di Gedung BRI, Jakarta.

Baca Juga: Kredit melandai, bank getol simpan dana di surat berharga

Sunarso menambahkan, segmen korporasi jadi penyebab utama bengkaknya rasio NPL BRI. Sementara dari presentasi BRI, segmen korporasi tercatat punya rasio NPL hingga 10,46%, meningkat tajam dibandingkan periode sebelumnya sebesar 5,80%.

Sementara dua sektor industri yang jadi penopang besar NPL di segmen korporasi disebut Sunarso berasal dari industri semen, dan tekstil.

“Kami menetapkan sebagai NPL karena sudah membentuk pencadangan 100%. Di industri semen dan tekstil kami sudah mencadangkan hingga 100%. Kemudian ada pula di Krakatau Steel (KRAS) yang meskipun sudah ada kesepakatan restrukturisasi, kami juga sudah membentuk pencadangan hingga 60%,” lanjutnya.

Per September 2019 secara individual nilai kredit bermasalah BRI mencapai Rp 25,2 triliun, meningkat 32,63% (yoy) dibandingkan September 2018 senilai Rp 19,0 triliun. Meski demikian, nilai maupun rasio pencadangan yang dibentuk tak seiring dengan pertumbuhan NPL BRI.

Per September 2019 nilai pencadangannya Rp 40,3 triliun dengan rasio 160% terhadap NPL. Sementara September tahun lalu, nilainya sebesar Rp 34,6 triliun dengan rasio 181,9% terhadap NPL.

Sementara Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menjelaskan besarnya beban akibat kredit macet ini juga ikut menekan pendapatan bunga bersih perseroan. Secara individual, pendapatan bunga bersih perseroan cuma tumbuh 4,3% (yoy), dari Rp 55,90 triliun di kuartal III-2018 menjadi Rp 58,32 triliun di kuartal III-2019.

“Sementara secara konsolidasi NII (net interest income) kami mencapai Rp 60,57 triliun dengan pertumbuhan 4,6% (yoy). Selain itu NIM (net interest margin) kami juga memang menurun dari 7,41% pada kuartal III-2018 menjadi 6,81% di kuartal III-2019,” ujar Haru dalam kesempatan serupa.

Baca Juga: Ini strategi bisnis BRI dan BNI di periode kedua pemerintahan Jokowi

Penurunan marjin bunga bersih BRI menurut Haru turut diakibatkan oleh kenaikan bunga acuan sebanyak 175 bps sepanjang 2018 lalu. Kenaikan tersebut bikin biaya dana alias cost of fund (CoF) perseroan juga meningkat dari 3,38% pada kuartal III-2018 menjadi 3,63% kuartal III-2019.

Meski demikian ia bilang, jika dibandingkan secara kuartalan, sejatinya marjin bunga bersih BRI tercatat meningkat dari 6,79% di kuartal II-2019 menjadi 6,81% kuartal III-2019 secara konsolidasi. Sementara secara individual tercatat stagnan sebesar 7,02%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×