Berita Special Report

Pasar Otomotif Melambat, Kompetisi Bakal Semakin Ketat

Senin, 13 Mei 2019 | 05:13 WIB
Pasar Otomotif Melambat, Kompetisi Bakal Semakin Ketat

Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awal tahun 2019 sepertinya menjadi awal yang kurang menyenangkan bagi pelaku bisnis di sektor otomotif. Maklum, sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, penjualan mobil tampak lesu.

Pada periode Januari hingga Maret 2019, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil berturut-turut mencatatkan penurunan.

Pada Januari 2019, penjualan mobil secara wholesale turun sebesar 14,5% dibandingkan Januari 2018. Pada bulan berikutnya, penjualan mobil kembali turun sebesar 13,4%.

Lalu, pada Maret 2019, penjualan mobil masih mengalami penurunan sebesar 11,4% dibandingkan Maret 2018 (lihat infografik).

Sumber: Gaikindo

Sebagian besar pemimpin pasar otomotif, kecuali Daihatsu, mencatatkan penurunan penjualan. Toyota, pemimpin pasar otomotif dengan pangsa terbesar, mencatatkan penurunan penjualan sebesar 8,6% per Maret 2019.

Penjualan Honda turun hingga 24,5% sementara penjualan Suzuki turun lebih dalam sebesar 35,3%. Mitsubishi, yang sepanjang 2018 mencatatkan lonjakan penjualan, pada Maret lalu mencatatkan penurunan penjualan hingga 42,9%.

Daihatsu merupakan salah satu pemimpin pasar yang masih mencatatkan penjualan positif pada Maret lalu dengan kenaikan sebesar 14,4%. Peluncuran Grand New Xenia 2019 pada pertengahan Januari lalu tampaknya menopang pertumbuhan penjualan Daihatsu.

Setelah mencatatkan penurunan penjualan 52,5% sepanjang 2018 lalu, Nissan juga sukses menggenjot penjualan berkat peluncuran All New Livina pada Februari lalu. Produk baru Nissan yang menggunakan platform Mitsubishi Xpander itu menopang kenaikan penjualan Nissan pada Maret lalu hingga lebih dari dua kali lipat.

Namun, meski mencatatkan kenaikan tinggi pada Maret lalu, secara kumulatif, penjualan Nissan pada periode Januari-Maret 2019 hanya naik 1,1%.

Dibandingkan merek mobil penumpang lainnya, penjualan Nissan pada kuartal I-2019 lalu lebih baik. Sebab, penjualan mobil produksi pabrikan lain justru mencatatkan penurunan.

Penjualan Toyota, misalnya, turun 8,6% pada kuartal I-2019. Penjualan Mitsubishi, Honda, dan Suzuki, masing-masing turun sebesar 13,9%, 20,4% dan 29,3%. Sementara penjualan Daihatsu hanya turun sebesar 1,8% (lihat infografik).

Sumber: Gaikindo

Penurunan penjualan berbagai merek mobil membuat kinerja penjualan mobil nasional terseret turun. Total, penjualan mobil pada kuartal I-2019 tercatat sebesar 253.863 unit. Dibandingkan periode sama tahun lalu, penjualan mobil pada tiga bulan pertama tahun ini turun sebesar 13,1% (lihat infografik).

Penurunan penjualan mobil sepanjang tiga bulan pertama tahun ini kontras dengan tren pasar otomotif tahun lalu. Sepanjang 2018, penjualan mobil nasional secara wholesale naik 6,9% menjadi sebanyak 1,15 juta.

Wuling dan Mitsubishi tercatat sebagai merek mobil dengan kenaikan penjualan yang tinggi pada 2018 lalu.

Wuling, pemain baru asal China yang baru merilis produk  perdana pada 2017 lalu, mencatatkan pertumbuhan penjualan hingga 236,7%.

Sementara berbekal Xpander yang meluncur sejak 2017, Mitsubishi berhasil menggenjot kenaikan penjualan sebesar 79% (lihat infografik).

Sumber: Gaikindo

Pelaku industri otomotif menilai, tren penurunan penjualan pada awal tahun ini tidak lepas dari jahatan pemilihan umum (Pemilu) yang digelar pada April 2019.

Ketua Umum Gaikindo Yohanes Nangoi mengatakan, masyarakat masih wait and see dalam membeli melakukan investasi. Karena harga mobil cukup mahal, mereka sangat hati-hati dan memilih menunggu hasil Pemilu sebelum melakukan pembelian mobil.

Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Fransiscus Soerjopranoto mengamini, hajatan Pemilu memang menjadi salah satu penyebab penurunan penjualan mobil di kuartal I-2019. Makanya, dia bilang, penurunan penjualan mobil di kuartal I-2019 sebetulnya sudah diperkirakan.

Faktor lain yang menyebabkan penurunan penjualan mobil di awal tahun ini adalah tren penurunan harga komoditas.

Tahun 2017 dan 2018 lalu, tren penjualan mobil ditopang oleh kenaikan sektor komersial. Di tengah tren kenaikan harga komoditas, banyak perusahaan mulai menggenjot produksi sehingga membantu penjualan mobil, khususnya mobil komersial. Tahun lalu, penjualan truk naik hingga 27%.

Nah, akhir tahun lalu, khususnya per November 2018, harga komoditas mulai kembali menurun. Imbasnya, permintaan mobil juga turun.

Makanya, penurunan penjualan mobil sejatinya sudah dimulai sejak bulan Desember 2018 lalu. Saat itu, total penjualan mobil nasional secara wholesale hanya sebesar 87.846 unit. Dibandingkan bulan sebelumnya, penjualan mobil per Desember 2018 turun hingga 12,8%.

Memasuki 2019, penurunan penjualan mobil masih berlanjut seiring tren penurunan harga komoditas. Itu sebabnya, penjualan mobil komersial sepanjang kuartal I-2019 turun cukup tajam. Per kuartal I-2019, penjualan truk turun hingga 12%.

Target dan peluang

Toh, tren penurunan penjualan mobil di kuartal I-2019 ini tak membuat pelaku industri otomotif pesimistis. Sebelumnya, Gaikindo menargetkan, penjualan mobil sepanjang tahun ini bisa mencapai 1,1 juta unit.

Yohannes mengatakan, hingga saat ini, Gaikindo belum merevisi target tersebut. Dia berharap, target penjualan mobil 1,1 juta unit bisa dicapai hingga akhir 2019.

Optimisme itu bukan tanpa dasar. Menurut Yohannes, peluang di pasar otomotif masih terbuka. Sebab, kondisi ekonomi Indonesia masih bagus. Begitu pula dengan kondisi sosial politik.

Jongki D. Sugiarto, Ketua I Gaikindo, menambahkan, target penjualan mobil 1,1 juta unit belum akan berubah karena penjualan mobil akan mengalami kenaikan pada bulan-bulan mendatang.

Setelah Gaikindo  Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 pada Juli mendatang, Jongki berharap, ada banyak model mobil baru yang meluncur sehingga mendongkrak penjualan mobil. "Biasanya, semester dua selalu ada peningkatan angka penjualan," ujar Jongkie optimistis.

Fransiscus pada awalnya juga optimistis terhadap pasar otomotif tahun ini. Dia memperkirakan, penjualan mobil sepanjang 2019 di kisaran 1,05 juta, tidak terlalu jauh dibandingkan realisasi penjualan mobil tahun lalu.

Optimisme itu berasal dari maraknya peluncuran produk baru di awal tahun ini. Hampir semua agen pemegang merek (APM) pada awal tahun ini meluncurkan produk baru. Pengalaman selama ini, Franciscus bilang, peluncuran produk baru bisa menstimulasi pasar.

Masalahnya, perkembangan kondisi politik di dalam negeri ternyata tidak sesuai ekspektasi awal. Semula, pasca Pemilu berlangsung, kondisi politik diperkirakan adem. Ternyata, Franciscus bilang, pemilihan presiden belum benar-benar selesai 100%.

Kondisi sosial politik yang masih gaduh inilah yang membikin optimisme Franciscus sedikit memudar. Makanya, dia menurunkan proyeksi penjualan mobil tahun ini menjadi 1,03 juta unit.

Kekhawatiran Franciscus setidaknya terbukti. Berdasarkan perkiraan kasar, penjualan mobil per April 2019 turun lagi menjadi kisaran 80.000 unit. Per Maret, penjualan mobil masih di angka 90.189 unit.

Menurut Franciscus, penjualan Toyota pada April kembali turun sebesar 10% dibandingkan periode Maret 2019. "Meski ada IIMS 2019, teman-teman APM lain juga mengalami penurunan penjualan," ujar Franciscus.

Padahal, APM sebetulnya sudah mempersiapkan produksi untuk menghadapi kenaikan permintaan. Apalagi, menjelang Lebaran, permintaan mobil biasanya meningkat.

Makanya, Franciscus berharap, kondisi sosial politik di negeri ini bisa tenang dan tidak gaduh. Sehingga, masyarakat kembali berbisnis dan berinvestasi.

Jongkie berharap, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur. Kedua faktor ini dia harapkan bisa mendorong permintaan mobil.

Harapan lainnya, Jongkie menuturkan, peraturan mengenai harmonisasi tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) segera dilaksanakan. Termasuk juga peraturan mengenai mobil hibrida dan mobil listrik agar segera diimplementasikan.

Seperti diketahui, pemerintah berencana merelaksasi aturan PPnBM untuk kendaraan bermotor. Rencananya, tarif PPnBM akan diubah berdasarkan konsumsi bahan bakar dan emisi gas buang karbondioksida (CO2). Semakin rendah konsumsi bahan bakar maupun emisinya, semakin rendah pula tarif pajaknya.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif baik untuk kendaraan bermotor roda empat hemat energi dan harga terjangkau (KBH2) alias low cost green car (LCGC), kendaraan hybrid, hingga kendaraan listrik.

Menurut Yohannes, harmonisasi tarif PPnBM ini akan menolong pasar otomotif. Saat tarif PPnBM turun, harga kendaraan dengan konsumsi bahan bakar dan emisi rendah otomatis menjadi lebih murah.

Aturan tersebut rencananya diterapkan pada 2021.Jadi, ada waktu dua tahun bagi produsen otomotif untuk menyesuaikan dengan peraturan yang rencananya akan terbit pada semester I-2019 ini.

Menurut Franciscus, calon regulasi anyar itu juga akan mengubah segmentasi di pasar otomotif dan berdampak terhadap segmen kendaraan tertentu. Kendaraan LCGC, misalnya, nanti akan terkena tarif PPnBM sebesar 3% dari sebelumnya 0%.

Di atas kertas, Franciscus bilang, kenaikan tarif PPnBM untuk kendaraan LCGC tidak akan berdampak besar. Harga mobil hanya akan naik 3%. Jika sebelumnya Rp 150 juta, misalnya, harga mobil LCGC hanya akan naik Rp 5 juta.

Jika pembelian mobil dilakukan secara kredit dengan jangka waktu 5 tahun, kenaikan biaya yang harus konsumen tanggung hanya sebesar Rp 1 juta per tahun atau kurang dari Rp 85.000 per bulan.

Namun, pada praktiknya, kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPnBM tersebut bisa menyurutkan minat konsumen membeli mobil LCGC. Apalagi, selisih dengan mobil di segmen lain akan menjadi semakin dekat lantaran tarif PPnBM ditentukan berdasarkan konsumsi bahan bakar dan emisi.

Karena itu, Franciscus mengingatkan agar harmonisasi tarif ini mesti disusun secara hati-hati. Yang jelas, bagi pelaku industri otomotif, yang paling dibutuhkan sebenarnya adalah kepastian regulasi.

Kepastian regulasi ini penting untuk menentukan produk yang tepat bagi pasar. Sebab, hanya dua hal yang dibutuhkan untuk memproduksi mobil. Pertama, produk yang sesuai pasar. Kedua, produk yang mengikuti regulasi pemerintah. "Kalau sudah ada dua hal itu, pasti bisa jualan," ujar Franciscus.

Tantangan dan risiko

Selain kepastian regulasi, ada empat hal yang menurut Jongkie memengaruhi pasar otomotif dan jangan sampai terjadi. "Pertumbuhan ekonomi jangan sampai turun, nilai tukar rupiah harus terus terjaga, suku bunga jangan naik, likuiditas jangan terganggu," tegas Jongkie.

Keempat hal itu memang menjadi faktor yang akan sangat memengaruhi pasar otomotif. Kondisi ekonomi yang lesu jelas akan berdampak negatif terhadap permintaan mobil.

Persoalannya, apa yang Jongkie khawatirkan justru sebagian tengah terjadi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tiga bulan pertama tahun ini tercatat minus 0,52%.

Secara tahunan, ekonomi Indonesia per kuartal I-2019 tumbuh 5,07%. Angka ini menunjukkan perlambatan dibandingkan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2018 yang sebesar 5,18%.

Dari sisi nilai tukar, kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) di awal tahun ini memang lebih baik dibandingkan kondisi 2018 lalu.

Namun, perang dagang antara China dan AS yang tak kunjung selesai akan selalu menjadi sentimen negatif bagi pergerakan rupiah.

Rabu (8/5), nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 14.296 per dollar AS. Dibandingkan posisi akhir tahun lalu, nilai tukar rupiah masih tercatat menguat 0,66%. Namun, jika dihitung dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah bergerak melemah sebesar 0,9%.

Risiko berikutnya berasal dari pergerakan suku bunga di pasar keuangan. Maklum, sekitar 70% penjualan mobil dilakukan melalui kredit baik kredit perbankan maupun pembiayaan perusahaan multifinance.

Sepanjang tahun lalu, Bank Indonesia menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak enam kali dari 4,25% menjadi 6%.

Memang, kenaikan suku bunga acuan pada 2018 lalu belum berdampak terhadap pasar otomotif. Maklum, industri keuangan biasanya membutuhkan waktu untuk mentranslasikan perubahan suku bunga acuan ke suku bunga kredit.

Makanya, penyaluran kredit kendaraan bermotor baik di perbankan maupun di perusahaan pembiayaan masih tumbuh positif.

Menurut Jongkie, kenaikan suku bunga acuan tentu akan berdampak terhadap suku bunga kredit. Namun, kenaikan suku bunga kredit maupun bunga pembiayaan kendaraan bermotor belum terlalu signifikan.

Meski begitu, Survei Perbankan yang digelar Bank Indonesia menyebutkan, suku bunga kredit konsumsi pada kuartal II-2019 akan naik sebesar 1 basis point (bps) menjadi 12,91%. Sementara suku bunga kredit kendaraan bermotor naik 3 basis point menjadi 12,07%.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan, perusahaan pembiayaan akan secara bertahap menaikkan suku bunga pembiayaan pada tahun ini. Langkah ini menyesuaikan kenaikan biaya penarikan fasilitas pendanaan baru.

Kenaikan suku bunga pembiayaan kendaraan ini, menurut Fitch, akan menghalangi pertumbuhan penjualan mobil baru. Sebab, sebagian konsumen mungkin akan menunda pembelian, beralih ke model yang lebih murah, atau beralih ke pasar mobil bekas.

Meski begitu, menurut Fitch, tidak mudah bagi perusahaan pembiayaan untuk mengerek suku bunga pembiayaan. Sebab, persaingan di industri pembiayaan terbilang ketat.

Toh, menurut Franciscus, meski menjadi faktor yang perlu diperhitungkan, suku bunga kredit belum akan naik signifikan pada tahun ini. Sebaliknya, bank justru memilih menahan suku bunga kredit maupun menggelar promosi potongan bunga kredit dan paket promosi lainnya demi menggenjot penyaluran kredit.

Bagi Franciscus, kondisi sosial politik yang panas hingga Oktober nanti menjadi risiko yang sangat berpengaruh terhadap pasar otomotif.

Pengalaman selama ini, penjualan mobil akan mulai pulih enam bulan pasca pengumuman pemenang Pilpres. Namun, dengan kondisi saat ini, bukan tidak mungkin pemulihan pasar otomotif baru akan berlangsung pada 2020 mendatang.

Kompetisi dan perubahan peta pasar

Yang menarik, meski pasar otomotif tampak lesu di tiga bulan pertama tahun ini, kompetisi antara produsen kendaraan berlangsung semakin sengit.

Dalam beberapa tahun terakhir, peta pasar otomotif di segmen kendaraan penumpang sebetulnya tidak mengalami banyak perubahan. Lima pemain besar yang menguasai pasar otomotif berturut-turut selalu dipegang oleh Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi.

Namun, sejak tahun lalu, peta penguasa pasar kendaraan penumpang mulai sedikit berubah. Mitsubishi Motors, yang semula selalu berada di urutan kelima, berhasil menyalip Suzuki dan menempati peringkat keempat.

Penjualan Xpander yang meluncur sejak 2017 mendongkrak penjualan Mitsubishi pada 2018 lalu meroket. Sepanjang 2018, penjualan Mitsubishi mencapai 142.861 unit, naik sebesar 79%. Pangsa pasar Mitsubusi naik menjadi 12,4% dari 7,4% pada 2017.

Sementara penjualan Suzuki pada 2018 hanya naik 5,7% menjadi 118.014 unit. Alhasil, pangsa pasar Suzuki turun dari 10,4% pada 2017 menjadi 10,3% pada 2018 (lihat infografik).

Sumber: Gaikindo

Per akhir Maret 2019, pangsa pasar Mitsubishi di pasar otomotif kembali meningkat menjadi 14%. Alhasil, Mitsubishi berhasil menggeser posisi Honda di urutan ketiga.

Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, penjualan Honda turun 20,4% menjadi 28.845 unit. Pangsa pasar Honda turun dari 12,4% menjadi 11,4%.

Selain gebrakan Mitsubishi melalui Xpander, peta persaingan pasar otomotif di segmen kendaraan penumpang juga berubah seiring masuknya Wuling ke pasar otomotif Indonesia.

Pada Agustus 2017 lalu, pemain otomotif asal China itu meluncurkan produk pertamanya, Wuling Confero, yang mencoba berlaga di segmen low multi purpose vehicle (MPV). Saat itu, Wuling membanderol Confero S seharga Rp 128,8 juta untuk tipe termurah hingga Rp 162,9 juta untuk tipe termahal.

Harga produk perdana Wuling itu jelas jauh lebih murah dibandingkan harga kendaraan di segmen low MPV lainnya. Tipe termurah Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, maupun Honda Mobilio setidaknya dibanderol di atas Rp 180 juta.

Pada Februari 2019, Wuling masuk ke pasar medium MPV dengan meluncurkan Wuling Cortez. Dibanderol seharga Rp 218 juta hingga Rp 264 juta, Wuling Cortex mencoba bersaing dengan Toyota Innova yang telah lama hadir dan menguasai pasar medium MPV.

Menawarkan mobil dengan sederet fitur canggih dengan harga terjangkau, Wuling segera mendapat sambutan hangat masyarakat.

Hanya dalam tempo enam bulan pasca meluncurkan produk perdana, penjualan Wuling mencapai 5.050 unit. Per akhir 2017, pangsa pasar Wuling sebesar 0,5%, lebih besar dibandingkan pemain lawas seperti Mazda maupun Hyundai.

Di akhir 2018, penjualan Wuling melonjak 236,7%. Pangsa pasarnya naik menjadi 1,5%. Wuling bahkan sukses menyalip Nissan dan menempati peringkat keenam di segmen kendaraan penumpang.

Per akhir Maret 2019, secara wholesale, Wuling turun peringkat di bawah Nissan akibat penurunan penjualan sebesar 21,3% (lihat infografik). Namun, secara ritel, penjualan Wuling masih naik 12,2% sehingga peringkatnya masih bertahan di atas Nissan.

Wuling memang tidak main-main saat masuk ke pasar otomotif Indonesia. Sebelum merilis produk perdana, pada 2015 lalu, Wuling telah membangun pabrik di Cikarang, Jawa Barat, dengan investasi senilai Rp 9 triliun.

Selain membangun pabrik yang terintegrasi dengan pemasok suku cadang, Wuling juga membangun diler dan layanan purna jual hingga pembiyaan.

"Kami memilih membangun fondasi dulu sehingga saat meluncurkan produk pada 2017, semua sudah siap," ujar Dian Asmahani, Brand Manager Wuling Motors Indonesia.

Sebagai pemain baru, Wuling memang harus menarik kepercayaan konsumen. Karena itu, Wuling agresif menggelar ekspansi jaringan diler dan layanan purna jual. Akhir tahun lalu, Wuling sudah memiliki 90 diler di berbagai kota.

Hingga akhir tahun ini, Wuling menargetkan memiliki 120 diler. "Saat ini kami sudah memiliki 94 diler," ujar Dian pekan lalu.

Dian enggan membisikkan target penjualan Wuling tahun ini. Yang pasti, dia berharap, Wuling pada tahun ini tetap berada di posisi keenam di segmen mobil penumpang.

Untuk itu, Wuling telah meluncurkan tiga produk baru di tahun ini. Yakni Wuling Almaz di segmen sport utility vehicle (SUV), Cortez CT, dan Confero S ACT.

Yang jelas, kehadiran Wuling telah menamah disrupsi di pasar otomotif di Indonesia. Kesuksesan Wuling dan juga Mitsubishi merebut pasar jelas menjadi gangguan bagi pemain otomotif yang lain, tak terkecuali Toyota.

Toyota memang masih bertahan sebagai penguasa pangsa pasar nomor satu. Namun, pangsa Toyota semakin menurun akibat penjualan yang terus menurun.

Akhir 2016 lalu, Toyota masih  menguasai pangsa pasar sebesar 36,1%. Setahun kemudian, pangsa pasar Toyota turun menjadi 34,5%.

Per akhir 2018, pangsa pasar Toyota kembali turun menjadi 30,6% seiring penurunan penjualan sebesar 19,17%. Akhir Maret 2019, pangsa pasar Toyota sebesar 30,4%.

Franciscus mengakui, penjualan Toyota terus menurun Pangsa pasar Toyota juga turun signifikan. Hal ini tidak bisa dihindari seiring masuknya banyak pilihan di pasar otomotif.

Meski begitu, Toyota Astra Motor tetap mencoba semangat mengejar target. Franciscus bilang, Toyota dan seluruh diler sepakat untuk menjaga pangsa pasar sebesar 30%.

Kalau saat ini ada produk Toyota dianggap kkurang diminati, Franciscus yakin, Toyota suatusaat akan kembali punya produk bagus. Sebab, Toyota selama ini berpikir bukan sebagai pengikut alias follower melainkan menciptakan pasar.

Franciscus mencontohkan, pada 2004 silam, Toyota membentuk pasar baru di segmen low MPV melalui peluncuran Toyota Avanza. Satu dasawarsa kemudian, Toyota meluncurkan Toyota Agya di segmen LCGC.

Makanya, demi mempertahankan pangsa pasar sebesar 30%, Toyota Astra Motor tahun ini akan menerapkan dua strategi.

Pertama, mengenalkan lebih banyak produk baru. Tahun ini, Toyota Astra Motor akan merilis 10 produk baru, lebih banyak dibandingkan enam produk baru yang dirilis tahun lalu.

Awal tahun ini, Toyota Astra Motor telah meluncurkan New Avanza, New Veloz, dan dua kendaraan hibrida yakni All New Camry dan C-HR Hybrid.

Kedua, mendekatkan diri kepada konsumen melalui jaringan diler. Saat ini, Toyota sudah memiliki 340 jaringan diler. Tiap tahun, Toyota menambah setidaknya 10 diler baru.

Selain itu, Toyota telah merilis asisten digital bertajuk Toyota Interactive Virtual Assistant (TARRA) untuk memberikan kemudahan bagi konsumen. Toyota juga telah meluncurkan fasilitas Toyota Driving Experience (TDE) untuk memenuhi kebutuhan konsumen memperoleh pengalaman mengemudi.

Bukan cuma Toyota dan Wuling yang meluncurkan produk baru di kuartal I tahun ini. Pada ajang Telkomsel Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 lalu, misalnya, tak sedikit agen pemegang merek yang merilis produk anyar.

Mitsubishi, misalnya, mengenalkan Mitsubishi Xpander Limited. Sementara Sokonind Automobile, agen tunggal pemegang merek DFSK, meluncurkan DFSK Glory 560.

Di tengah pasar yang lesu, agen pemegang merek berlomba-lomba meluncurkan produk baru demi memikat konsumen. Harapannya, melalui produk anyar, konsumen terpikat sehingga penjualan mobil terdongkrak.

Jelas, ini akan membuat kompetisi di pasar otomotif semakin sengit. Namun, menurut Franciscus, justru melalui kompetisi ini, pasar otomotif akan semakin menarik karena konsumen memiliki semakin banyak pilihan.

Yang jelas, persaingan sengit ini akan membuat pasar otomotif lebih dinamis. Setiap pemain, bahkan penguasa pangsa pasar sekalipun, tak lagi bisa berleha-leha menjajakan kendaraan.

Terbaru