kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasca merger, Bank BTPN catat pertumbuhan aset setinggi 101% di kuartal I 2019


Kamis, 25 April 2019 / 20:33 WIB
Pasca merger, Bank BTPN catat pertumbuhan aset setinggi 101% di kuartal I 2019


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank BTPN Tbk (BTPN, anggota indeks Kompas100) membukukan kinerja positif pada kuartal I 2019. Bank hasil penggabungan usaha (merger) antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) ini mencatatkan kenaikan nilai aset, memiliki permodalan yang solid, dan mulai melayani segmen bisnis yang lebih luas.

Hingga akhir Maret 2019, aset Bank BTPN mencapai Rp 192,2 triliun, meningkat 101% dibandingkan posisi yang sama tahun lalu (year on year/yoy) senilai Rp 95,8 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit tercatat Rp 139,84 triliun, tumbuh 114% pada kurun waktu yang sama. 

Perlu digarisbawahi, nilai aset dan kredit ini merupakan gabungan dari neraca Bank BTPN dan SMBCI, terhitung sejak efektif merger pada 1 Februari 2019.

Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana menjelaskan, selama triwulan pertama 2019, entitas baru hasil merger ini sejatinya bekerja efektif hanya dua bulan, yakni Februari dan Maret. Meski relatif singkat, roda organisasi tetap bekerja optimal sehingga dapat mempertahankan laju pertumbuhan. Hal ini menunjukkan penggabungan usaha berlangsung lancar dan sesuai ekspektasi.

“Bagi kami, tahun ini merupakan tahun konsolidasi sebagai lanjutan dari proses merger yang sudah kami tuntaskan pada awal Februari lalu. Periode ini tentu sangat menantang dan kami bersyukur dapat mengawali fase integrasi dengan cukup baik, yang tercermin pada pencapaian kinerja kuartal I 2019,” kata Ongki dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Kamis (25/4).

Pertumbuhan kredit Bank BTPN pada kuartal pertama tahun 2019 banyak ditopang oleh segmen korporasi, usaha kecil dan menengah (small medium enterprises/SME), pembiayaan konsumen, dan pembiayaan prasejahtera produktif (productive poor) melalui anak usaha, BTPN Syariah.

“Pencapaian ini merupakan bentuk komitmen kami dalam menggerakkan sektor riil dan ikut berpartisipasi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kami melayani nasabah dari segmen paling bawah hingga korporasi besar,” terangnya.

Bank BTPN melayani segmen korporasi berskala besar di Indonesia, seperti badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan multinasional, konglomerasi lokal Indonesia, dan perusahaan Jepang. Pembiayaan korporasi antara lain mengalir ke proyek infrastruktur dan industri pendukung yang sejalan dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah Indonesia.

“Sebelum merger bisnis ini dikelola oleh SMBCI. Setelah penggabungan usaha, portofolio ini dicatatkan ke dalam neraca Bank BTPN. Apabila dibandingkan dengan posisi tahun lalu, pembiayaan korporasi tumbuh 12%, dari Rp64,3 triliun menjadi Rp 71,9 triliun (yoy),” lanjutnya.

Sementara itu, kredit ke sektor UKM tumbuh 13% menjadi Rp 13,5 triliun, pembiayaan productive poor meningkat 20% menjadi Rp 7,5 triliun, dan pembiayaan konsumen melonjak 106% menjadi Rp 6,11 triliun. Adapun kredit pensiun mengalami kontraksi 2% menjadi Rp 37,7 triliun. 

“Ke depan, kami berencana mengembangkan segmen komersial dan memperkuat retail banking. Produk dan layanan kami nantinya akan semakin lengkap,” lanjut Ongki.

Selain menjajaki peluang bisnis baru, Bank BTPN juga tetap konsisten menciptakan inovasi produk dan layanan berbasis digital, melalui BTPN Wow! dan Jenius, serta melakukan digitalisasi di existing business.

Dari sejumlah rasio keuangan, Bank BTPN juga memperlihatkan kinerja yang sehat dan kuat. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 23,1%, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) 0,8%, dan rasio likuiditas (loan to funding ratio/LFR) sebesar 89%.

Adapun laba bersih setelah pajak (net profit after tax/NPAT) sebesar Rp 507 miliar, lebih rendah 5% dari tahun lalu (yoy). Jika tidak memperhitungkan pajak, laba sebesar Rp 801 miliar, hampir sama dengan tahun lalu. “Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya biaya dana (cost of fund), sedangkan kapasitas untuk mengompensasi peningkatan biaya dana ke para debitur terbatas,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×