kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perlakuan pajak terhadap dana pensiun


Selasa, 31 Oktober 2017 / 13:57 WIB
Perlakuan pajak terhadap dana pensiun


| Editor: Tri Adi

Berita tentang penghentian Pemasaran Program Pensiun untuk Kompensasi Pesangon (PPUKP) oleh penyedia jasa Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) akibat permasalahan besaran pajak, sangat menjadi perhatian industri jasa keuangan. Para pelaku DPLK pun berharap pemerintah tetap memberlakukan ketentuan pajak final sebesar 5% untuk semua jenis produk yang dihasilkan.

Program pensiun sendiri, menurut UU Nomor 11/1992 tentang Dana Pensiun, dibagi menjadi dua macam, yaitu Program Pensiun Iuran Pasti untuk manfaat individu dan Pencadangan Manfaat Pensiun Pasca-Kerja yaitu pencadangan oleh perusahaan yang dialihkan kepada DPLK.

UU Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perusahaan atau pemberi kerja wajib mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh perusahaan. Kewajiban tersebut membuat dana investasi yang dikelola mencapai Rp 249 triliun sampai bulan Agustus 2017.

Pencapaian tersebut sangat menggembirakan di tengah masih tingginya persaingan dengan dana pensiun global. Beberapa perusahaan bisa saja menanamkan dana pensiunnya ke luar negeri. Sebagai contoh, aset kelolaan DPLK Mandiri berkembang signifikan dalam periode 2011-2016 mencapai angka Rp 64 triliun dengan kenaikan peserta mencapai 50 kali lipat.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 5/POJK/2017 diterbitkan untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada DPLK dalam pengembangan program. Ketentuan pasal 58 menyebutkan bahwa DPLK dapat menyelenggarakan atau memberikan manfaat lain kepada peserta. Salah satunya adalah melalui PPUKP. DPLK Mandiri pun telah mampu menghimpun aset kelolaan mencapai Rp 16 triliun atau sekitar 25% dari total aset kelola.

Permasalahan perpajakan   

Pokok permasalahan perpajakan dalam hubungan dengan dana pensiun adalah perbedaan definisi yang berujung kepada perbedaan perlakuan pajak. Dalam hal ini, terdapat perbedaan perlakuan pajak antara dua jenis bentuk penghasilan, yaitu uang pesangon dan uang manfaat pensiun.

Uang pesangon sendiri adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja. Pada dasarnya, uang pesangon diberikan kepada pegawai yang belum memasuki usia pensiun normal atau usia pensiun dipercepat. Iuran pensiun yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibebankan sebagai pengurang pajak oleh perusahaan.

Sementara itu, uang manfaat pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus. Pada dasarnya uang manfaat pensiun diberikan kepada pegawai yang telah memasuki masa atau usia pensiun atau usia pensiun dipercepat. Iuran pensiun umumnya dibayar sendiri oleh pekerja sehingga dapat dibebankan oleh pegawai yang bersangkutan.

Nah, atas penghasilan berupa uang manfaat pensiun dikenakan pajak final sebesar 5% untuk penghasilan bruto lebih dari Rp 50 juta. Sedangkan atas uang pesangon dikenakan tarif  berdasarkan UU PPh Pasal 17 yang dikenakan secara progresif sesuai jumlah penghasilan yang diterima dengan tarif antara 5% sampai 25%. Perbedaan perlakuan ini disebabkan karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih memegang prinsip pembebanan iuran pensiun dengan menggunakan konsep taxable-deductible.

Sementara itu, DPLK menginginkan perlakuan yang seragam dengan tarif lebih rendah untuk meningkatkan eksposur program dana pensiun. Perkembangan sektor jasa keuangan, termasuk dana pensiun, membutuhkan respon yang cepat. Otoritas pajak sendiri cenderung berhati-hati melihat kemungkinan terjadinya penghindaran tarif pajak yang lebih tinggi sejalan dengan semakin banyaknya diversifikasi produk, yang sejatinya merupakan inti proses bisnis DPLK.

Solusinya adalah masing-masing pihak segera dapat merumuskan suatu strategi untuk menemukan win-win solution atas persoalan ini. Terkadang solusi dan kesepahaman sulit dicapai mengingat adanya kompleksitas berbagai peraturan. Maklum, terkait bidang ini, perlu beberapa penyesuaian menyangkut peraturan ketenagakerjaan, peraturan jasa keuangan, dan peraturan perpajakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×