kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Reposisi bank perkreditan rakyat


Senin, 27 Mei 2019 / 15:00 WIB
Reposisi bank perkreditan rakyat


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Responsif dan dinamis. Barangkali dua kata itu cocok untuk menggambarkan kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tiga bulan terakhir. Setelah Maret lalu merancang ketentuan wajib lapor bagi perusahaan yang menerbitkan surat utang jangka menengah (MTN), OJK per April kembali membuat gebrakan dengan mengeluarkan panduan bagi pelaku usaha jasa keuangan dalam membuat dan memasarkan produknya.

Tidak berhenti sampai di situ, bulan berikutnya OJK menyiapkan rancangan beleid baru perihal konsolidasi bank perkreditan rakyat (BPR). OJK mewajibkan BPR memenuhi modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015.

Dalam tahapannya, BPR mesti memiliki modal inti paling sedikit Rp 3 miliar pada akhir 2019, dan harus ditingkatkan hingga Rp 6 miliar pada 2024. Sanksi berat pun siap mengadang. Mulai pembatasan ruang usaha dan perluasan jaringan kantor, merger dengan BPR lain, sampai penutupan usaha.

Peringatan ini tidak mengada-ada. Per Januari 2019, terdapat 1.593 BPR yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 56 BPR yang memenuhi ketentuan modal minimum. Sebagian besar (48%) memiliki modal inti kurang dari Rp 6 miliar. Bahkan, lebih miris lagi, masih ada 374 BPR yang memiliki modal inti di bawah Rp 3 miliar.

Banyaknya BPR dengan modal kecil di tanah air dewasa ini, bahkan lebih banyak dari jumlah provinsi ditambah kota/kabupaten di Indonesia, tak terlepas dari Paket Kebijakan Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 88). Dengan modal awal saat itu "hanya" Rp 50 juta, orang dengan mudah bisa mendirikan BPR.

Misi utamanya ialah mobilisasi dana masyarakat. Dari sisi mikro, kemudahan mendirikan BPR ditujukan untuk memberantas praktik bank plecit atau rentenir yang saat itu masih marak. Untuk itu, tidak mengherankan bila relasi bisnis utama BPR adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dari sisi makro, eksistensi BPR seakan semakin moncer ketika krisis ekonomi menerpa ekonomi Indonesia pada 1997/1998. Di saat 16 bank dilikuidasi dan banyak bank besar menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), BPR tetap setia menjalankan core business-nya hingga kini.

Sekitar 20 tahun berselang, tantangan BPR sudah berubah drastis. Tantangan BPR saat ini lebih beragam, seperti perkembangan teknologi informasi, persaingan dengan lembaga keuangan lain, dan lagi-lagi regulasi.

Menjamurnya financial technology atau teknologi finansial (tekfin) membuat masyarakat bisa mengakses kredit lewat aplikasi. Demikian pula, koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan mikro, agen laku pandai yang bisa mengakses masyarakat di pelosok daerah, serta program sosial BUMN yang mengucurkan kredit ke pelaku UMKM.

Sadar atau tidak, banyak regulasi atau kebijakan yang kurang menguntungkan BPR. Ketentuan bank umum menyalurkan 20% kredit ke UMKM dan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bersubsidi bunga ke pelaku UMKM membuat irisan dengan pasar BPR. Dengan harga dana mahal, BPR seakan berada di pinggiran peta perbankan nasional.

Ketangguhan modal

Meski di tengah persaingan yang ketat, kinerja industri BPR mengalami peningkatan yang signifikan. Per Januari 2019, aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit BPR secara industri tumbuh masing-masing 7,69%, 8,59%, dan 10,19% ketimbang periode sama tahun sebelumnya. Artinya, BPR sejatinya masih memiliki potensi pasar yang besar.

Di balik potensi dan tantangan yang besar, muncul pertanyaan: bagaimana BPR bisa tumbuh dan memberikan layanan terbaiknya. Alhasil, ketentuan modal minimum menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan kekuatan modal, maka BPR yang tangguh menetralisasi risiko likuiditas dan menyerap risiko kredit bermasalah.

Ketangguhan modal BPR akan merawat stabilitas sistem perbankan di level menengah bawah. Dengan cara ini, kasus BPR yang terindikasi berdampak sistemik bisa direduksi. Sehingga, efek domino bagi bank perkreditan rakyat lain dan dengan segala mata rantai di sektor riil tak akan muncul lagi.

Sebaliknya, modal cekak membuat manuver BPR semakin berat dalam hal penerapan manajemen risiko, standar teknologi informasi, tata kelola, dan pelaporan kepada OJK. Pemenuhan itu tentu butuh modal besar. BPR yang kecil niscaya kesulitan memenuhi standar organisasi yang paling mendasar.

Persoalannya pun menjadi seperti telur dengan ayam. BPR efisien lebih dulu untuk bisa menambah modal, atau memperkuat permodalan terlebih dahulu agar skala efisiensi bisa tercapai. Kausalitas dua arah tampaknya lebih aman dijadikan rujukan. Artinya, sembari melakukan efisiensi internal, maka BPR harus proaktif menambah modal.

Dengan konfigurasi problematika di atas, beberapa skenario bisa dikembangkan dalam mereposisikan keberadaan BPR.

Pertama, mencari investor baru. Caranya ialah, menjadikan perusahaan yang dulunya binaan BPR dan berhasil menjadi penyokong utama. Strategi ini diklaim lebih kokoh mengingat keterkaitan psikologis.

Kedua, merger antar-BPR. Strategi ini terbuka dalam kasus menumpuknya BPR di kabupaten/kota. Alternatif ini lebih murah dibanding menambah modal sendiri atau mencari investor baru, meski banyak kendala yang harus ditanggulangi, seperti kesamaan segmen pasar, kepemilikan, skala usaha.

Ketiga, akuisisi BPR oleh bank pembangunan daerah (BPD). Metode ini secara signifikan akan mengurangi jumlah BPR. BPD yang dimiliki pemerintah provinsi bisa menggandeng badan usaha milik daerah (BUMD) kabupaten/kota bahkan badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai agen dalam jalinan simbiosis mutualisme. Format Grameen Bank yang berhasil di Bangladesh bisa jadi rujukan.

Melalui tiga skenario di atas, BPR mampu mereposisi dirinya sendiri dalam menjawab tantangan ke depan, sekaligus mempertahankan eksistensinya. Harapan ini masuk akal. Besarnya gap pembiayaan masih menganga, unbanked people sebanyak 160 juta jiwa dan rasio kredit bank baru sekitar 39% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Asian Development Bank (ADB) memperkirakan, ada kebutuhan pembayaran mencapai US$ 144 miliar dan peminjaman sebesar US$ 70 miliar yang belum bisa dipenuhi segmen formal. Alhasil, BPR dan tekfin yang mengandalkan aksesbilitas dan kecepatan proses akan saling berebut mengisi gap ini.♦

Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×