kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

S. Batunanggar, Deputi Komisioner OJK Institute: Pengawasan tekfin berbasis kode etik


Senin, 01 Oktober 2018 / 18:36 WIB
S. Batunanggar, Deputi Komisioner OJK Institute: Pengawasan tekfin berbasis kode etik


Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Mesti Sinaga

Seiring kemajuan teknologi, inovasi keuangan digital semakin tak terbendung. Perusahaan tekfin pun tumbuh subur di tanah air. Tapi, mereka beroperasi tanpa payung hukum yang jelas.

Kini, aturan main tekfin sudah terang benderang dengan kelahiran PJOK Nomor 13/2018. Aturan main yang berlaku mulai 16 Agustus ini mewajibkan penyelenggara IKD yang belum berizin mengajukan permohonan pencatatan ke OJK.
 

Bagaimana persisnya? Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menjelaskannya ke wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantika, Selasa (28/8). Info saja, OJK Institute membawahi Departemen Inovasi Keuangan Digital. Berikut nukilannya:

KONTAN: Setelah lama ditunggu, OJK akhirnya merilis payung hukum untuk industri tekfin. Tujuannya?
SUKARELA: Sebagai regulator sektor jasa keuangan, OJK sangat berkomitmen mendorong perkembangan fintech atau disebut sebagai IKD.

Ini dalam rangka mendorong sektor jasa keuangan yang lebih kuat, kontributif, dan inklusif. Kuat artinya sehat dan tahan terhadap berbagai risiko dan guncangan.

Kontributif berarti bermanfaat bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sedang inklusif bisa memberi pelayanan keuangan seluas-luasnya ke masyarakat.

Nah, Indonesia memiliki potensi dan sumberdaya yang sangat besar. Pertama, Indonesia diproyeksi sebagai perekonomian kelima terbesar di dunia.

Kedua, bonus demografi atau angkatan kerja produktif yang besar pada 2030. Ketiga, jumlah pengguna internet dan mobile phone yang sangat besar, mencapai 130 juta orang.

Kendati demikian, terdapat tiga permasalahan mendasar pada perekonomian Indonesia. Yakni, angka kemiskinan yang masih tinggi, sekitar 60 juta jiwa atau mencapai 6% dari total satu miliar penduduk miskin dunia, menurut Bank Dunia.

Kemudian, tingkat inklusi yang cukup rendah, baru 49% dari jumlah penduduk dewasa yang memiliki rekening di bank. Dan, gap pembiayaan untuk sektor UMKM yang besar.

Saat ini, rasio kredit UMKM perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya sekitar 7%, masih jauh dibanding rata-rata rasio di negara maju sebesar 18%.

Harapannya, melalui IKD, ketiga permasalahan mendasar tersebut bisa diatasi atau diperkecil.

KONTAN: Lalu, apa prinsip dasar regulasi tekfin ini?

SUKARELA: Kerangka regulasi IKD dikembangkan oleh  OJK secara dinamis dan berdasarkan pada tiga prinsip dasar.

Pertama, regulasi yang berbasis prinsip, di mana OJK hanya merumuskan pokok-pokok regulasi IKD sebagai acuan umum.

Selanjutnya, diharapkan industri, melalui asosiasi fintech merumuskan pedoman pelaksanaan dalam bentuk code of conduct (kode etik) dan pedoman operasional yang sesuai dengan bisnis masing-masing.

Alasannya, karena perkembangan bisnis fintech sangat dinamis dan beragam, sehingga pengaturan yang berbasis aturan akan cepat tertinggal dan menjadi tidak relevan.

Kedua, pengembangan disiplin pasar, yakni dengan mendorong tata kelola yang sehat, mencakup adopsi kebijakan dan tindakan yang akuntabel, transparan, serta adil.

Selain itu, konsumen juga didorong untuk lebih bertanggungjawab terhadap keputusan investasi dan transaksi yang mereka lakukan. Ini didorong melalui edukasi konsumen oleh fintech, OJK, dan stakeholders.

Ketiga, pengawasan IDK berbasis market conduct. Untuk itu, asosiasi fintech diberi tugas oleh OJK untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan code of conduct tersebut, agar terlaksana secara konsisten dan melaporkan hasilnya kepada OJK.

Namun, tanggung jawab akhir pengawasan dan penegakan hukum tetap berada di OJK. OJK juga tetap melakukan pemantauan terhadap fintech berdasarkan laporan yang disampaikan mereka ke OJK.

KONTAN: Caranya?
SUKARELA: OJK mengatur IKD agar penyelenggaraannya terlaksana secara bertanggungjawab, mendukung pemantauan yang efektif, dan mendorong sinergi di dalam ekosistem digital jasa keuangan.

Misalnya, OJK membentuk mekanisme pencatatan dan pendaftaran fintech. Di sini, setiap penyelenggara IKD, baik perusahaan startup maupun lembaga jasa keuangan (LJK), akan melalui tiga tahapan sebelum mengajukan perizinan, seperti pencatatan kepada OJK untuk perusahaan startup non-LJK.

Permohonan pencatatan secara otomatis termasuk permohonan pengujian regulatory sandbox.

Sedangkan untuk LJK, permohonan sandbox diajukan kepada pengawas masing-masing bidang, yakni perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB).

Kemudian, proses regulatory sandbox berjangka waktu paling lama satu tahun dan bisa diperpanjang selama enam bulan kalau diperlukan.

Supaya pengawasan tetap terjaga, OJK akan menetapkan penyelenggara IKD yang wajib mengikuti proses regulatory sandbox.

Hasil uji coba regulatory sandbox ditetapkan dengan status, yakni direkomendasikan atau diberikan kesempatan untuk perbaikan atau tidak direkomendasikan.

Selanjutnya, untuk memelihara ekosistem keuangan, LJK yang telah memperoleh izin atau terdaftar di OJK dilarang bekerjasama dengan penyelenggara IKD yang belum tercatat di OJK atau terdaftar di otoritas lain yang berwenang.

KONTAN: Masih banyak perusahaan tekfin yang belum mengantongi izin. Bagaimana perlakuan OJK ke mereka?
SUKARELA: Dengan berlakunya POJK 13/2018, diharapkan semua fintech mencatatkan diri kepada OJK.

Soalnya, regulator memiliki sanksi bagi fintech yang tidak terdaftar. Sanksinya adalah tidak boleh berhubungan dengan lembaga keuangan terutama perbankan.

OJK memiliki cara untuk menerbitkan fintech yang tidak berizin. Caranya, OJK akan mengumumkan sederet nama fintech yang sudah terdaftar melalui website resmi OJK. Dengan begitu, bagi fintech yang tidak tercatat tidak akan masuk ke dalam website OJK.

KONTAN: Sanksi bagi yang melanggar peraturan?
SUKARELA: Tentu, OJK akan menilai tingkat dan dampak pelanggarannya. Jika ringan, maka regulator bakal memberikan pembinaan.

Kalau pelanggaran sedang, OJK akan memberikan surat teguran dan meminta penyelenggara melakukan perbaikan secara segera.

Bila pelanggaran berat, maka bisa diperiksa dan disidik. Jika ada pelanggaran hukum akan dikenakan penindakan, dan kalau terjadi masalah serius maka izin akan kami cabut.

KONTAN: Sempat ramai cara penagihan utang oleh perusahaan tekfin yang meresahkan. Ada sanksi enggak?
SUKARELA:
OJK memiliki aturan main dalam sistem penagihan di perusahaan fintech. Prinsipnya, proses penagihan akan sama dengan sistem yang dipakai perbankan. Tapi prosedurnya bisa berbeda antara satu fintech dengan yang lain.

KONTAN: Lalu, bagaimana OJK melindungi investor pemberi pinjaman dan peminjam di sektor P2P lending?
SUKARELA:
Dengan mewajibkan transparansi oleh fintech kepada investor juga peminjam. Sehingga, masing-masing pihak harus bertanggung jawab atas kebenaran data dan info yang disampaikan kepada fintech.

Masing-masing pihak bisa menilai dengan objektif sebelum melakukan transaksi.

Penyelenggara IKD juga wajib menerapkan program anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (AML-CFT) di sektor jasa keuangan terhadap konsumen sesuai ketentuan POJK AML-CFT.

KONTAN: Cara OJK mendorong industri tekfin biar sehat dan tidak kolaps?
SUKARELA:
OJK mengadopsi strategi yang holistik dan seimbang. Di satu sisi, OJK harus memastikan kesehatan industri fintech dengan penerapan tata kelola, manajemen risiko dan kepatuhan yang baik, serta perlindungan konsumen.

Ini semua  melalui pengaturan berbasis pada prinsip dan pengawasan berbasis disiplin pasar.

OJK juga mendorong IKD dengan pengembangan ekosistem fintech. Misalnya, melalui kegiatan OJK Fintech Centre dan kolaborasi dengan industri fintech.

Selain itu, OJK mendorong kolaborasi lembaga keuangan incumbent, seperti bank dan lembaga keuangan non-bank, dengan perusahaan startup fintech sehingga tercipta sinergi dan efisiensi.

Ke depan, perbankan dan lembaga keuangan non-bank bisa melakukan transformasi dan mengadopsi strategi juga inovasi digital terkait model bisnis serta proses bisnisnya.

Sementara perusahaan startup yang lebih inovatif dalam model bisnisnya bisa terus memperkuat tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhannya. Sehingga, bisnisnya berkembang secara sehat dan tangguh.

KONTAN: Selain mengeluarkan peraturan, strategi OJK lainnya untuk mendukung perkembangan tekfin?
SUKARELA:
Untuk mendukung perkembangan IKD di Indonesia OJK menempuh tiga strategi.

Pertama, menyusun kerangka kebijakan pengembangan dan regulasi IKD berdasarkan riset dan diskusi dengan stakeholders.

Kemudian, menyusun Peraturan OJK tentang IKD sebagai payung hukum pengaturan fintech ke depan, serta POJK yang spesifik per jenis fintech, seperti P2P lending, equity crowd funding, sesuai perkembangan.

Kedua, OJK juga mengembangkan ekosistem fintech melalui pembentukan OJK Fintech Centre. Ketiga, dengan mengembangkan kolaborasi dan sinergi dengan stakeholders termasuk industri fintech.     

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Sarjana Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Medan
■     Pascasarjana Universitas Nottingham, Inggris

Riwayat pekerjaan:
■ Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI
■ Senior Advisor Tim Transisi OJK
■ Direktur Stabilitas Sistem Keuangan OJK
■ Direktur Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK
■ Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK
■ Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan I OJK
■ Deputi Komisioner OJK Institute.  

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 3 September - 9 September 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut:  "Pengawasan Tekfin Berbasis Kode Etik"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×