kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tantangan bank syariah


Rabu, 11 Oktober 2017 / 15:23 WIB
Tantangan bank syariah


| Editor: Tri Adi

Apakah ini simbol kebangkitan bank syariah ketika pada 27 September 2017 PT Minna Padi Investama Sekuritas ingin membeli 51% saham PT Bank Muamalat Indonesia? Bagaimana tantangan bank syariah ke depan?

Sejauh mana kinerja bank syariah? Penulis mengambil kinerja bank umum kegiatan usaha atau bank buku 3 (dengan modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) sebagai ilustrasi. Mengapa? Karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak menyajikan laporan kinerja bank umum syariah sebagaimana bank konvensional.

Selama ini, OJK hanya menyajikan laporan kinerja bank umum syariah buku 1 (modal inti kurang dari Rp 1 triliun), bank BUKU II (modal inti Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun) dan bank buku 3. Padahal data bank umum syariah itu penting untuk mengetahui rata-rata industri perbankan syariah. Hingga kini belum ada bank syariah BUKU IV (modal inti di atas Rp 30 triliun).

Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 19 September 2017 menunjukkan bahwa pembiayaan bank umum syariah buku 3 mampu tumbuh cukup subur 10,80% dari Rp 52,05 triliun per Juli 2016 menjadi Rp 57,67 triliun per Juli 2017. Dana pihak ketiga (DPK) pun tumbuh 11,86% dari Rp 65,84 triliun menjadi Rp 73,65 triliun pada periode yang sama.

Pertumbuhan demikian telah mendorong financing to deposit ratio (FDR) naik sedikit dari 79,05% menjadi 79,31%. FDR itu jauh lebih rendah daripada loan to deposit ratio (LDR) bank umum konvensional buku 3 sebesar 89,20% pada periode yang sama. Artinya, kemampuan mengemban fungsinya sebagai intermediasi keuangan kian baik karena masuk FDR ideal 78%-92%.

Laba perbankan syariah hanya naik tipis 1,56% dari Rp 450 miliar menjadi Rp 457 miliar. Akibat logisnya, imbal hasil dari aset (return on assets/ROA) turun dari 0,63% menjadi 0,56%, jauh di bawah ambang batas 1,5%. Dengan bahasa lebih bening, kualitas aset menipis. Coba bandingkan ROA bank umum konvensional BUKU III yang mencapai 2,05%.

Melihat kondisi tersebut, tantangan apa saja yang perbankan syariah hadapi? Bagaimana pula cara mengatasinya?

Pertama, mendongkrak tingkat efisiensi. Tingkat efisiensi tersurat jelas pada rasio BOPO (rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional) yang menurun (membaik) dari 97,20% menjadi 95,63%. Meskipun begitu, rasio itu jauh di atas ambang batas 70-80% yang berarti perbankan syariah belum efisien.

Untuk itu, kini saatnya bagi perbankan syariah untuk menaikkan tingkat efisiensi dengan memanfaatkan teknologi. Itu wajib dilaksanakan jika tak mau terlindas disrupsi teknologi (disruptive technology). Ini merupakan sesuatu yang menggeser teknologi yang telah mapan dan menggoyang industri atau produk yang kemudian melahirkan industri baru (Prof Clayton M. Christensen, 1997).

Coba tengok perkembangan perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang melaju bagai panah terlepas dari busurnya. Kelak, perusahaan itu bakal menjadi pesaing berat bagi perbankan baik konvensional maupun syariah.

Modal benteng terakhir

Kedua, mengerek modal. Sekalipun rasio pemenuhan kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) tumbuh dari 12,07% menjadi 14,76%, tetapi perbankan syariah tetap perlu menggenjot modal.

Dalam bahasa manajemen risiko, modal merupakan bantal yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan mempengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi bersangkutan. Modal tersebut bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).

Ringkas tutur, sesungguhnya modal merupakan benteng terakhir untuk menghadapi persaingan yang semakin tajam. Terlebih ketika bank asing dengan modal lebih perkasa terus menyerbu industri perbankan nasional.

Ketiga, meningkatkan kualitas kredit. Rasio pembiayaan non lancar (non-performing financing/NPF) membaik dari 5,68% menjadi 4,99%. NPF yang nyaris sama dengan ambang batas 5% itu sungguh merupakan peringatan keras bagi perbankan syariah untuk meningkatkan kualitas kredit.

Salah satu kiatnya adalah dengan melakukan revitalisasi sistem dan prosedur (standard operating procedures/SOP) manajemen risiko. SOP itu harus disesuaikan dengan perkembangan produk dan jasa perbankan serta perubahan lingkungan bisnis perbankan.

Keempat, memperkaya pengetahuan sumber daya manusia (SDM). Sudah barang tentu, bank syariah wajib meningkatkan SDM dengan aneka pengetahuan dan keterampilan seperti manajemen kredit, manajemen risiko, audit teknologi, kepatuhan dan pasar modal berbasis syariah. Bolehlah SDM dikirim ke negara jiran Malaysia yang sudah lebih maju dalam perbankan syariah.

Kelima, meningkatkan pembiayaan sektor produktif. Data SPI mencatat bahwa perbankan syariah masih didominasi pembiayaan konsumsi yang meningkat 18,89% dari Rp 17,15 triliun menjadi Rp 20,39 triliun.

Ternyata pertumbuhan pembiayaan konsumsi mengungguli pertumbuhan pembiayaan modal kerja yang naik 11,07% dari Rp 17,07 triliun menjadi Rp 18,96 triliun. Sementara, pembiayaan investasi hanya tumbuh 2,69% dari Rp 17,84 triliun menjadi Rp 18,32 triliun.

Sudah semestinya bank syariah mulai berani membiayai proyek-proyek infrastruktur seperti bandara, pelabuhan laut, jalan tol, jalan kereta api, irigasi (bendungan dan bendung) dan pembangkit listrik. Memang pembiayaan yang satu itu menyedot biaya besar dan bertenor menengah hingga panjang. Tetapi jangan lupa bahwa pembiayaan itu juga mengandung pendapatan dari bunga (interest income) yang amat gurih sebanding dengan risikonya.

Keenam, lebih dari itu, sudah semestinya perbankan syariah lokal bisa dapat berkembang lebih cepat dan luas. Kok bisa? Lantaran mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam yang berarti itu merupakan basis nasabah (customer base) yang maha luas.

Sarinya, kondisi tersebut merupakan prospek bisnis yang terbuka lebar dan gemerincing. Hal itu ditengarai dengan masuknya pemegang saham pengendali bagi Bank Muamalat sebagai bank syariah terkemuka dan pertama.

Nah, ketika aneka tantangan demikian dapat teratasi dengan sigap, maka perbankan syariah nasional bakal lebih cerah di masa mendatang.                         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×