kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tekanan terhadap emerging market mereda di kuartal keempat


Selasa, 06 November 2018 / 10:49 WIB
Tekanan terhadap emerging market mereda di kuartal keempat
ILUSTRASI. Pasar Modal


Reporter: Krisantus de Rosari Binsasi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki kuartal-IV 2018, tekanan terhadap pasar finansial di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia berangsur mereda. Hal ini tampak dari arus modal yang kembali masuk ke pasar obligasi maupun saham.

Sepanjang pekan lalu, arus modal asing tercatat beli bersih (net buy) Rp 1,3 triliun di pasar saham. Sementara di pasar obligasi, arus modal Rp 5,86 triliun. Adapun, mata uang rupiah menguat 1,72% terhadap dollar Amerika Serikat (AS) selama pekan lalu, dengan berada pada level Rp 14.955 di pasar spot pada Jumat (2/11) lalu.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menyatakan arus modal asing kembali masuk (capital inflow) karena sentimen investor terhadap negara berkembang menjadi lebih baik dan valuasi pasar negara berkembang sudah murah.

“Investor masih yakin akan fundamental ekonomi Indonesia yang stabil. Meski terseret sentimen negatif, sebagai negara berkembang, Indonesia menunjukkan indikator ekonomi yang relatif kuat. Penerimaan pajak hingga September lalu tumbuh 17%, menunjukkan pemerintah masih mampu membiayai anggaran negara secara internal. Di samping itu, data domestik seperti penjualan mobil dan motor membaik. Kredit perbankan hingga September 2018 tumbuh 12,6% yoy,” ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers, Senin (5/11).

Selain itu, valuasi Indonesia telah dianggap murah. Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi 7,07% sejak awal tahun (ytd). Sementara yield obligasi mencapai 8,29% per tahun, yang artinya investor bisa memperoleh return di obligasi sebesar 8,29% per tahun. “Koreksi di pasar saham yang cukup dalam membuat valuasi valuasi IHSG dan saham menjadi menarik. Investor pun mulai kembali untuk masuk ke pasar saham dan obligasi,” tambah Budi.

Sementara, mata uang rupiah menguat terhadap dollar AS, tertopang dari harga minyak yang melemah, sehingga meringankan biaya impor minyak. Defisit neraca minyak tetap menjadi masalah utama dari defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD).

Sekadar info, defisit neraca minyak selama periode Januari hingga September 2018 mencapai US$ 14,6 miliar atau melonjak 41% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Untuk itu, langkah Pemerintah untuk implementasi B20 sebagai bahan bakar alternatif harus segera diimplementasi.

Rupiah juga menguat dengan hembusan angin segar dari resolusi dari konflik dagang AS dengan Cina, meski tak sepenuhnya bisa memberi keyakinan pada pasar sebelum terealisasi. Mengutip Reuters, Trump dan Xi akan bertemu di sela pertemuan para pemimpin G20 untuk membahas perang dagang, pada akhir November, di Buenos Aires, Argentina.

Tahun 2020, arus modal asing kian besar ke emerging market

Budi meyakini bahwa arus modal asing akan semakin deras masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Di tahun 2020, banyak ekonom dan analis menduga pertumbuhan ekonomi negara berkembang itu lebih cepat dari negara maju.

Laju perekonomian AS mulai melambat sebab beban pembayaran utang akibat kenaikan bunga menurunkan kapasitas belanja rumah tangga dan perusahaan. "Perekonomian global yang lebih berimbang memungkinkan Dollar AS berpotensi masuk ke siklus melemah. Diharapkan ada arus balik menuju emerging market yg sudah underperform dari negara maju cukup lama,” sebut Budi.

Hal ini terlihat dari kekhwatarian pasar ketika ekonomi AS sudah mature. Tingkat upah masyarakat di AS sudah tinggi, sementara Federal Reserve (The Fed) memperketat likuiditas. AS juga mengalami kesulitan karena utang sudah cukup besar, sementara daya beli masyarakat tak bagus. Ini akan menyebabkan investor memilih berinvestasi di emerging market.

Akan tetapi, Budi mengimbau agar pemerintah terus meningkatkan daya saing Indonesia. “Kita ini kurang produktif dan kompetitif,” tuturnya.

Budi menilai bahwa Indonesia masih kurang kompetitif. Hal ini terlihat dari rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) turun. Sementara, ekspor itu menghasilkan valas. Kalau rasio ekspor terhadap PDB turun, maka valas dalam negeri berkurang. Pasar sepi, sehingga mata uang cenderung melemah jika ada permintaan valas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×