kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Unicorn dan tantangan ekonomi digital


Selasa, 26 Februari 2019 / 13:12 WIB
Unicorn dan tantangan ekonomi digital


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Unicorn. Kata yang ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Pemicunya bersumber dari debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Sultan, 17 Februari 2019 lalu.

Saat itu, calon presiden nomor urut 01 yang juga petahana Joko Widodo (Jokowi) bertanya kepada calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto terkait infrastruktur yang akan dibangun untuk mendukung perkembangan unicorn Indonesia.

"Yang bapak maksud unicorn? Maksudnya yang online-online itu, iya, kan?" ujar Prabowo bertanya balik kepada Jokowi. Menurut Prabowo, dia akan mengurangi regulasi yang menghambat perkembangan unicorn. Intinya, Prabowo mendukung unicorn tumbuh di Indonesia.

Lepas dari perdebatan yang ada, bagaimana potret perkembangan unicorn Indonesia dan korelasinya dengan ekonomi digital tanah air? Unicorn yang jamak diketahui masyarakat adalah makhluk mitologi yang digambarkan dalam wujud kuda bertanduk. Unicorn sering ditemukan dalam dongeng anak-anak.

Namun, ada sejumlah penelitian yang membuktikan unicorn nyata adanya. Salah satu di antaranya adalah temuan unicorn Siberia pada 2016 lalu sebagaimana dipublikasikan dalam American Journal of Applied Science.

Belakangan, unicorn mengalami peyorasi. Unicorn akrab di kalangan pelaku usaha rintisan berbasis teknologi (startup). Unicorn adalah sebutan bagi startup digital dengan nilai perusahaan atau valuasi lebih dari US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 14 triliun (dengan asuksi kurs US$ 1= Rp 14.000).

Khusus untuk Indonesia, sudah ada empat unicorn, yaitu Go-Jek dengan founder Nadiem Makarim, Tokopedia (William Tanuwijaya), Traveloka (Ferry Unardi cs), dan Bukalapak (Achmad Zaky). Ke depan, masih banyak lagi sejumlah startup digital yang disebut-sebut berpotensi menjadi unicorn, seperti Modalku, perusahaan teknologi finansial (tekfin) kategori peer to peer (P2P) lending.

Keberadaan unicorn asal Indonesia merupakan gambaran potensi besar ekonomi digital tanah air. Ini bukan sekadar klaim. Berbagai lembaga telah merilis besarnya potensi tersebut. Sebagai contoh, penelitian berjudul e-Conomy Southeast Asia yang dilakukan oleh Google dan Temasek tahun lalu. Menurut laporan tersebut, nilai ekonomi digital Indonesia akan meroket menjadi sekitar US$ 100 miliar pada 2025 mendatang, meningkat dari US$ 27 miliar pada tahun lalu.

Google dan Temasek melaporkan, ada empat kunci di balik peningkatan potensi itu, yaitu e-commerce, online travel, ride-hailing services, dan online media. Pada tahun lalu, McKinsey mengestimasi, ekonomi digital yang terus meningkat akan membutuhkan 3,7 juta orang demi mengisi lapangan pekerjaan baru pada 2025 mendatang.

Regulasi dan SDM

Regulasi adalah keniscayaan dalam bidang apapun, termasuk ekonomi digital. Nah, yang sering terjadi adalah regulasi selalu tertinggal dalam mengikuti perkembangan zaman.

Sebagai contoh, dalam bisnis ride-hailing services yang digeluti Go-Jek. Sampai saat ini, peraturan yang menjadi dasar hukum bisnis tersebut belum juga tuntas. Hal ini tidak terlepas dari proses sosialisasi aturan yang belum sepenuhnya disepakati pengemudi ojek online.

Dasar hukum yang ada dalam transportasi darat, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak memasukkan ojek sebagai moda transportasi umum. Walhasil, ride-hailing services seolah berjalan tanpa ada kepastian dari sisi regulasi.

Contoh lain ada pada bisnis e-commerce yang menjadi core utama Tokopedia dan Bukalapak. Sampai sekarang, rancangan peraturan pemerintah tentang e-commerce belum juga selesai. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemdag) masih mencari cara agar semakin banyak barang yang dijual dalam situs jual beli online atau marketplace berasal dari produk dalam negeri. Padahal, mayoritas atau hampir 95% produk yang dijual melalui marketplace adalah barang impor.

Kedua contoh di atas menggambarkan betapa regulasi begitu lambat untuk tersedia dan siap dalam menunjang ekonomi digital. Sementara model bisnis yang dijalankan para unicorn seperti Go-Jek hingga Bukalapak terus berkembang. Misalnya, investasi emas sudah bisa dilakukan melalui Bukalapak.

Kemudian dari sisi sumber daya manusia (SDM) sebagaimana laporan Google dan Temasek, perkembangan ekonomi digital akan menciptakan 3,7 juta orang untuk mengisi lapangan kerja baru pada 2025.

Untuk itu, semua pihak harus berbenah. Pasalnya, jumlah itu bukanlah angka yang sedikit. Peluang ini harus pula dimanfaatkan oleh putra-putri bangsa Indonesia. Jangan sampai, jutaan lapangan kerja tersebut diisi oleh tenaga kerja asing. Keberadaan tenaga kerja asing tidaklah salah, dengan catatan transfer teknologi berjalan. Jangan sampai, mereka hanya numpang cari nafkah di tanah air.

Dalam menyiapkan SDM, perlu dipetakan jenis pekerjaan yang dibutuhkan dalam ekosistem ekonomi digital. Sebagai contoh, profesi-profesi baru yang mengemuka belakangan, antara lain data engineer, backend developer, dan data scientist.

Setelah dipetakan, para stakeholder seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan perguruan tinggi, bisa menyiapkan program untuk menghasilkan SDM tangguh yang dibutuhkan tersebut. Pemagangan di startup-startup terkemuka bisa jadi salah satu solusi menghasilkan data engineer dan sebagainya.

Berikutnya yang tidak kalah penting adalah anggaran research and development (R&D). Walau dituding berbau politis, apa yang dilontarkan CEO Bukalapak Achmad Zaky telah membangunkan semua elemen anak bangsa, betapa Indonesia sangat tertinggal dibandingkan dengan negara lain dalam anggaran R&D. Tanpa R&D, tidak mungkin ada kemajuan yang bisa dicapai, termasuk di bidang teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan ekonomi digital.

Poin utamanya adalah fokus terhadap penelitian dan pengembangan yang paling dibutuhkan saat ini. Jangan sampai, anggaran riset yang terus bertambah hingga mencapai Rp 26 triliun, menurut Presiden Jokowi, hanya menguap dan berakhir sekadar laporan.

Selain regulasi dan SDM, masih ada faktor lain yang dibutuhkan dalam mendorong ekonomi digital. Misalnya, infrastruktur telekomunikasi demi menghasilkan koneksi internet yang cepat dan konsisten. Intinya adalah, potensi besar ini harus dimaksimalkan.

William Henley
Founder IndoSterling Capital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×