kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri farmasi cermati suplai obat BPJS


Minggu, 10 Maret 2019 / 14:57 WIB
Industri farmasi cermati suplai obat BPJS


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri farmasi masih melihat peluang bisnis yang baik dari segmen e-cataloque Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Meski dibayang-bayangi defisit dan telat bayar di tahun lalu, para produsen obat tetap berupaya memenuhi suplai dari permintaan pasar ini.

Pasar tersebut punya nilai yang sangat besar, diperkirakan anggaran belanja pemerintah di e-cataloque untuk produk kesehatan tahun 2018 kemarin saja tembus kisaran Rp 9 triliun. Besarnya pasar ini, menyebabkan pelaku industri farmasi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) serius menggelutinya.

Vidjongtius, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) mengatakan segmen pasar BPJS ini tetap merupakan segmen yang penting dan tidak bisa diabaikan. "Karena perkembangan kedepan cakupan BPJS akan tambah luas dan membaik," ujarnya optimis kepada Kontan.co.id, Minggu (10/3).

Di tahun ini saja Vidjongtius memproyeksikan market BPJS bakal mampu tumbuh dobel digit. Hal ini lah yang menyebabkan KLBF terus ikut serta dan suplai ke BPJS secara konsisten ke depan.

Terkait cashflow (arus kas), Vidjongtius mengaku perseroan tetap mengupayakan untuk dikelola dengan lebih baik, adapun masing-masing industri punya cara pengelolaannya masing-masing. Hanya saja ia tak menerangkan detilnya lebih lanjut.

Sebelumnya dikabarkan perseroan berencana menerapkan peningkatan strategi pemasaran obat resep untuk suplai ke BPJS, kurang lebih porsinya mencapai 15% dari pasar obat resep KLBF. Mengulik laporan keuangan KLBF kuartal tiga 2018, pendapatan bersih yang berasal dari obat resep domestik mencapai Rp 3,36 triliun. Jumlah tersebut naik 3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang tercatat Rp 3,26 triliun.

Sementara itu bagi perusahaan farmasi plat merah, PT Indofarma Tbk (INAF) suplai permintaan obat BPJS adalah segmen yang dapat ditinggalkan. Herry Triyatno, Direktur Keuangan dan SDM PT INAF menyebutkan perseroan terus mengupgrade dirinya untuk pelayanan tersebut.

Adapun soal cashflow, Herry mengaku masih dapat dikondisikan. "Terkait cashflow kami harus inovatif untuk menata portfolio bisnis agar kinerja kami menjadi lebih baik," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Minggu (10/3).

Di tahun ini, perseroan juga tak hanya terpaku pada bisnis obat namun juga berusaha memperkuat segmen penjualan di produk non farmasi seperti alat kesehatan dan diagnostik. Berkaca pada kuartal tiga 2018 kemarin, penjualan produk non farmasi tumbuh 47,24% year on year (yoy) menjadi Rp 217,74 miliar atau setara 29,46% total pendapatan.

Salah satu alasan INAF tidak ingin terlalu bergantung pada produk farmasi, karena produk farmasi kerap bergantung dengan rumah sakit yang memiliki keterkaitan dengan suplai obat BPJS ini. Oleh karenanya dalam beberapa tahun ke depan, manajemen berharap pendapatan non farmasi bisa berkontribusi sebesar 40% dari total revenue perseroan.

Sedangkan bagi PT Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA) keterlambatan pembayaran BPJS di tahun kemarin memang menjadi perhatian perseroan. Hanya saja perseroan masih dapat melakukan pengaturan tertentu agar tidak terlalu berpengaruh buruk bagi kinerja perseroan.

"Untungnya cashflow masih terjaga dengan baik dan managable," ungkap Widya Olivia Tobing, Corporate Secretary PT DVLA. Darya-Varia sendiri tidak terlalu banyak menyuplai kebutuhan tersebut, kebanyakan mengisi obat resep kategori gastro ethical (obat lambung).

Berkaca pada laporan keuangan kuartal-III 2018 kemarin, penjualan bersih perseroan tumbuh 1,6% year on year (yoy) menjadi Rp 1,23 triliun. Serta beban pokok penjualan naik 8,7% yoy menjadi Rp 561 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×