Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Tagihan transaksi derivatif yang melejit ratusan hingga ribuan persen ternyata tak merisaukan para bankir. Mereka mengaku masih optimistis, tagihan itu tak membebani kinerja dan kesehatan keuangan mereka.
Seperti diberitakan KONTAN kemarin, nilai tagihan transaksi derivatif di sejumlah bank terbang tinggi. Nilai tagihan untuk sepuluh bank mencapai Rp 36 triliun per akhir November 2008.
Tagihan transaksi derivatif di PT Bank Mandiri Tbk., misalnya, naik 124% dari posisi September menjadi Rp 572,68 miliar pada akhir November.
Bank Mandiri memastikan, lonjakan tagihan di banknya bukan akibat produk terstruktur. Kenaikan ini hanya disebabkan oleh transaksi swap antarbank. "Kami tidak punya eksposur transaksi dengan nasabah maupun korporasi. Jadi, sampai saat ini belum ada potensi gagal bayar," jelas Sugiharto, Group Head Treasury Bank Mandiri.
Dia menambahkan, sebagian besar tagihan tersebut sudah diselesaikan. Kini nilai tagihan yang tersisa di Bank Mandiri sebesar Rp 60 miliar. Sugiharto menyatakan, risiko gagal bayar piutang sangat kecil. "Tak mempengaruhi kinerja," imbuhnya.
Mengaku selektif
Standard Chartered Bank (SCB) juga menyikapi pembengkakan tagihan transaksi derivatif di banknya dengan tenang. Padahal, nilai tagihan di SCB terbilang paling besar, yakni Rp 11,6 triliun atau sekitar 20% dari total asetnya.
Rupanya, SCB punya alasan yang cukup kuat. "Semuanya mempunyai kolateral dan masih on going (belum gagal bayar)," kata Wang Wardhana, Head of Consumer Banking SCB, kemarin (22/1).
Itu berarti, jika ada nasabah yang mangkir, bank tinggal menyita jaminannya. Sayang, Wang tidak menyebutkan aset apa yang diminta bank sebagai kolateral. Dan, bagaimana jika kolateral itu tidak cukup untuk menutup tagihan.
Yang jelas, Wang yakin, tagihan tadi tidak akan menjadi beban bagi SCB. Soal potensi gagal bayar pun, Wang enggan berspekulasi. "Itu masih terlalu dini, belum bisa dipastikan saat ini," imbuh dia.
Wang juga tak mengungkapkan peranan SCB dalam transaksi tersebut; hanya sebagai broker atau penerbit kontrak.
Sikap kalem juga ditunjukkan oleh PT Bank Permata Tbk. Padahal, per akhir November, nilai tagihan transaksi derivatif di bank ini membengkak 2.230% dari posisi September menjadi Rp 851,2 triliun. "Bank selama ini sangat selektif dalam menjual produk-produk derivatif dan hanya ditujukan pada untuk memenuhi kebutuhan lindung nilai," kata Honggo Widjojo, Direktur Wholesale Banking Bank Permata melalui surat elektronik.
Honggo juga menegaskan, khusus untuk kasus penjualan produk terstruktur, Bank Permata hanya bertindak sebagai broker. "Bank Permata tidak mengambil posisi atau warehousing," tegas Honggo. Ia pun memastikan permodalan dan likuiditas di Bank Permata hingga kini masih aman.
Tentunya, kita berharap omongan para bankir tersebut benar adanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News