Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja bank syariah masih mencatatkan pertumbuhan positif sampai dengan April 2018. Statistik Perbankan Syariah yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan sampai dengan April 2018, total pembiayaan bank umum syariah (BUS) tumbuh 7,25% year on year menjadi Rp 191,04 triliun.
Pertumbuhan pembiayaan tersebut juga berhasil mengerek aset bank syariah ke level Rp 290,36 triliun atau naik 13,64% dibanding bulan April 2017 sebesar Rp 255,49 triliun.
Hal serupa juga terjadi pada PT Bank BCA Syariah yang menyebut sampai sejauh ini kineja masih sesuai target alias on the track.
Direktur Utama BCA Syariah John Kosasih mengatakan, sampai dengan 25 Juni 2018 total pembiayaan perseroan sudah menembus Rp 4,7 triliun. Jumlah ini naik 23% bila dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun 2017.
Selain dari segi pembiayaan, total dana pihak ketiga (DPK) BCA Syariah juga melesat 25% per 25 Juni 2018 menjadi Rp 4,9 triliun. Dus, berkat pencapaian tersebut, total aset perseroan ikut terkerek naik menjadi Rp 6,3 triliun atau tumbuh 19% per 25 Juni 2018.
"Kinerja kami sampai 25 Juni 2018 masih on track bahkan di atas RBB (rencana bisnis bank) 2018. Secara umum aset naik 19%, pembiayaan 23% dan DPK 25%," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (26/6).
Lebih lanjut, didorong dari pertumbuhan tersebut, anak usaha PT Bank Central Asia Tbk ini mampu membukukan laba sebelum pajak sebesar Rp 35 miliar pada 25 Juni 2018.
John menjelaskan, secara tahunan capaian tersebut mengalami peningkatan sebesar 25%. Dari sisi kualitas pembiayaan juga masih terjaga. Tercermin dari rasio non-performing financing (NPF) yang dijaga rendah di level 0,6% sampai penghujung semester I 2018.
Dus, BCA Syariah hingga akhir tahun tidak berencana untuk mengubah target. Antara lain, rata-rata pertumbuhan tahun 2018 ini dipatok di kisaran 20% sampai 25%.
Sedangkan PT Bank BRI Syariah Tbk, juga menyebut mencatatkan pertumbuhan positif sampai Mei 2018.
Antara lain laba bersih setelah pajak naik 85,16% menjadi Rp 96,31 miliar dibanding posisi bulan yang sama tahun lalu Rp 52,02 miliar.
Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso menjelaskan, pertumbuhan laba tersebut ditopang kenaikan pembiayaan sebesar 11,5% secara yoy menjadi Rp 20,42 triliun. Sedangkan untuk DPK mengalami peningkatan 13,62% yoy dari Rp 24,5 triliun pada bulan Mei 2017 menjadi sebesar Rp 27,84 triliun.
Dus, aset perseroan tumbuh cukup tinggi mencapai 21,41% pada Mei 2018 menjadi Rp 35,72 triliun dari posisi tahun sebelumnya Rp 29,42 triliun.
Anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk ini menyebut, dari total pembiayaan yang disalurkan sebanyak 34% masuk ke segmen komersial. Sementara sisanya sebanyak 66% masuk ke segmen ritel (konsumer dan UMKM).
Di samping itu, dari sisi rasio permodalan juga masih cukup tebal dengan capital adequacy ratio (CAR) terjaga di posisi 29,93% naik dari bulan Mei 2017 20,68%.
Hadi optimis sampai akhir tahun seluruh target perseroan dapat tercapai. Antara lain, laba bersih dipatok mampu mencapai Rp 250 miliar dan aset diprediksi menembus ke level Rp 36,98 triliun.
Sementara dari sisi pembiayaan, sampai akhir tahun 2018 pihaknya yakin mampu menyalurkan dana sebesar Rp 22,68 triliun. Serta DPK dipatok ke level Rp 28,28 triliun.
"Pertumbuhan tersebut didorong dengan rencana BRI Syariah yang akan fokus dalam pembiayaan di segmen ritel, dan komersial terutama BUMN," katanya di Jakarta, Selasa (26/6).
Di sisi lain, BRI Syariah juga terus mengembangkan teknologi informasi untuk penguatan digital banking untuk memenuhi kebutuhan nasabah.Hal itu dilakukan dengan peningkatan produk yang sudah ada melalui layanan integrasi internet banking BRI Syariah dan mobile banking (BRIS online).
Secara terpisah, Direktur BRI Syariah Wildan menyebut tahun ini pihaknya belum berencana untuk merubah target dan akan tetap menjaga porsi penyaluran kredit. "Kami akan coba jaga tetap di porsi yang sama sampai akhir tahun. Untuk tahun ini relatif target pembiayaan naik 14% sampai 15%," katanya.
Meski begitu, dari sisi rasio NPF, perseroan masih mencatatkan NPF tinggi di level 4,32% per Mei 2018. Menurut Wildan, mayoritas NPF tersebut disumbang dari debitur pembiayaan komersial lampau terutama di sektor pertambangan.
Pihaknya juga telah melakukan sejumlah strategi untuk menjaga NPF di bawah 5% pada tahun ini. Salah satunya dengan melakukan restrukturisasi dan penjualan aset bermasalah. Memang, bila dibandingkan dengan posisi kuartal I 2018 posisi NPF perseroan telah mengalami penurunan sebanyak 60 basis poin (bps) dari 4,92%.
"NPF kami targetkan di bawah koridor OJK (di bawah 5%). Saat ini kami masih di bawah dan ditarget turun dari posisi 2017," tambah Wildan. Adapun, rasio-rasio keuangan lainnya juga tercatat positif. Antara lain, return on asset (ROA) sebesar 0,90%, return on equity (ROE) sebesar 6,5%, net imbalan (NI) 5,16%, serta financing to deposit rasio (FDR) masih longgar di 73,05%.
Selain itu, perseroan juga berhasil menjaga efisiensi dengan menurunkan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) sebesar 90,29%, lebih baik dibandingkan posisi bulan Mei 2017 yang sebesar 94,05%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News