Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia pada September 2013 kembali mengalami defisit mencapai US$ 657,2 juta. Padahal pada Agustus 2013, neraca perdagangan mengalami surplus US$ 132,4 juta.
Bank Indonesia mewaspadai neraca perdagangan yang kembali mengalami defisit. Sebab, kondisi ini akan mempengaruhi upaya penurunan defisit transaksi berjalan.
Defisit neraca perdagangan ini tidak lepas dari meningkatnya nilai impor Indonesia menjadi US$ 15,47 miliar. "Impor yang sebenarnya harus kita waspadai," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (1/11).
Defisit impor tersebut disebabkan oleh impor migas. Hal ini terjadi setelah pemerintah menyesuaikan harga BBM ke level Rp 6.500/liter. Impor migas September 2013 mencapai US$ 3,669 miliar. Nilai tersebut turun tipis 0,06% jika dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 3,672 miliar.
"Tampaknya impor migas masih cukup kuat, sehingga neraca migas defisit. Padahal ini sebenarnya yang paling struktural. Karena ekonominya gerak terus, sementara sumber energi yang utama masih datang dari migas, produksi dalam negeri stagnan. Sehingga, dipenuhi dari impor. Akibatnya, impor migas kita setiap bulan masih terus defisit," jelas Mirza.
Di sisi lain, surplus neraca non migas menipis dari US$ 1,023 miliar ke US$ 494 juta. Menurut Mirza, angka neraca perdagangan juga harus terus diwaspadai, terutama impor migas setelah terjadi kenaikan harga BBM.
"Ternyata impor migasnya masih kuat," ucap Mirza.
Lebih lanjut Mirza mengungkapkan, jika tren defisit ini terus berlanjut, maka akan mempengaruhi upaya penurunan defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun. Sebab, untuk mencapai defisit transaksi berjalan yang turun ke level 3,4% sesuai proyeksi BI, impor harus terkendali dan ekspor naik.
"Pergerakan roda ekonomi memang membutuhkan energi. Nah, sumber energi saat ini yang utama masih datang dari migas. Karena itu harus ada perubahan sturuktural dalam penyediaan energi di Indonesia, yaitu diversifikasi," katanya.
Mirza mengungkapkan, kuartal terakhir tahun ini, perekonomian Amerika Serikat dan China dapat membaik. Pertumbuhan ekonomi China diharapkan berada di level 7,6%-7,8%, sehingga, ekspor Indonesia dapat kembali terdongkrak. BI juga akan terus menggunakan bauran kebijakan seperti nilai tukar untuk mengendalikan impor dan mendorong ekspor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News