Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Roy Franedya
JAKARTA. Bank Indonesia memastikan, tingginya pertumbuhan kredit properti belum mengkhawatirkan. Namun, regulator perbankan ini tetap meminta bank tidak agresif menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan meningkatkan kehati-hatian.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah, mengatakan secara umum kredit properti perbankan masih jauh dari zona bahaya. Porsinya masih 9% dari total kredit perbankan yang sebesar Rp 2.856,62 triliun. "Berbahaya jika kontribusi kredit properti kontribusi mencapai 60%-70%. Kalau porsi amannya tergantung kebutuhan kredit," ujarnya pekan lalu.
Halim menambahkan, tingginya pertumbuhan kredit properti perbankan karena kebutuhan masyarakat akan perumahan masih tinggi. Selain itu, kontribusi KPR yang disalurkan bank belum maksimal.
Namun, lanjut Halim, perbankan perlu meningkatkan kehati-hatian dengan mengelola potensi kredit macet. Maklum, potensi kredit macet bisa muncul karena ada indikasi masyarakat menggunakan properti sebagai wadah investasi dan spekulasi. Hal ini membuat harga rumah melambung tinggi di atas harga wajar. "Kami perlu mengingkatkan bank agar tidak kebablasan," terangnya.
Berdasarkan data Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), per April 2013, penyaluran kredit properti mencapai Rp 257,39 triliun atau tumbuh 23% dibandingkan tahun lalu. Komposisinya, KPR sebesar Rp 224,594 triliun, kredit flat dan apartemen (KPA) Rp 11,111 triliun dan kredit rumah toko ruko dan rumah kantor (rukan) sebesar
Rp 21,681 triliun.
Berdasarkan tipe, pertumbuhan KPR tipe di bawah 70 meter yang paling tinggi . Maret 2013, KPA dan flat tipe 22 - tipe 70 tumbuh 79,6% dibandingkan tahun lalu. Pada April, pertumbuhannya meningkat jadi 79,6%. Untuk tipe diatas 70 hanya tumbuh 45,1%. Tetapi jenis kredit ini mencapai 37% dari total KPR perbankan.
Nah, salah satu cara meningkatkan kehati-hatian menyalurkan KPR adalah dengan perluasan aturan loan to value (LTV). Rencananya, perluasan tersebut dalam bentuk pembatasan untuk permintaan rumah kedua atau ketiga, kemudian pembatasan kepemilikan kredit rumah bagi suami dan istri, serta pembatasan kredit properti per sektor wilayah di Indonesia. "Fokus BI adalah pertumbuhan kredit yang stabil dan berkualitas, tidak pada pertumbuhan kredit properti yang cepat tetapi merusak neraca bank," ujar Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo.
Dalam penyaluran kredit properti, BI sudah mematok LTV maksimal 70%. Namun, kebijakan ini dianggap belum efektif meredam pertumbuhan kredit sehingga BI berencana memunculkan beleid perluasan LTV.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News