kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Maslahat lewat zakat


Rabu, 29 Agustus 2012 / 16:21 WIB
Maslahat lewat zakat
ILUSTRASI. Pelayanan di konter emas kantor pusat Pegadaian, Jakarta, Selasa (20/4/2021). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Arief Ardiansyah, Dian Pitaloka Saraswati, Farrel Dewantara, Hendra Gunawan | Editor: Imanuel Alexander

Potensi zakat umat Islam bisa mencapai Rp 217 triliun atau 20% dari APBN. Tapi dana yang terkumpul baru 1% dari total potensi tersebut. Bagaimana cara menggali potensi itu agar bermanfaat bagi umat dan perekonomian nasional?

Ramadan baru saja berlalu. Rangkaian ibadah umat Islam menjalani puasa sebulan penuh digenapkan dengan membayar zakat
saat menjelang hari raya Idul Fitri. Selain zakat fi trah, umat muslim lazim mengeluarkan zakat harta benda dan profesi
(mal). Jadi, menyisihkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang kurang mampu.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, potensi zakat di Indonesia sungguh dahsyat. Selain disalurkan
langsung, banyak pembayar zakat (muzaki) menyetor zakat ke lembaga amil zakat (LAZ). Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafi dhuddin menyitir hasil penelitian Baznas bersama Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Potensi dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) mencapai Rp 217 triliun. Nilai itu setara dengan 20% Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).

Memang, belum ada penelitian sahih yang bisa dijadikan pegangan untuk mengukur nilai potensi zakat di Indonesia. Pada 2006, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan potensi zakat sekitar Rp 19,3 triliun. Adapun Bank
Islam Dunia pada tahun 2010 menyebut potensi zakat sekitar Rp 107 trilliun.

Ketua Forum Zakat yang juga Direktur LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Sri Adi Bramasetia memilih perhitungan potensi zakat yang moderat. Hitungannya berbasiskan setoran pajak umat Islam, baik perorangan maupun badan usaha, yaitu sekitar Rp 17 triliun.

Tapi, potensi zakat berbasis data pajak ini punya kelemahan. Pertama, belum semua umat Islam di negeri ini mau membayar pajak. Kedua, kalau sudah membayar, mereka belum tentu melaporkan semua kekayaan dan penghasilan mereka dalam laporan pajak.

Sayang, potensi besar zakat itu belum tecermin dalam realisasi pengumpulan duit ZIS. Didin mengatakan, jumlah penghimpunan
zakat dari seluruh LAZ di Indonesia tahun lalu sekitar Rp 1,7 triliun. Sedang penerima manfaat melalui program penyaluran dana zakat (mustahik) sebanyak 1,7 juta orang. "Itu angka yang tercatat di Baznas. Saya yakin lebih besar di lapangan karena banyak penyaluran zakat secara langsung," kata Didin.

Dana yang terkumpul itu meningkat 15,33% dari tahun 2010. Tahun ini, Baznas meyakini pengumpulan ZIS mencapai Rp 2,3 triliun. Jika mengacu penelitian Baznas di atas, dana yang terkumpul itu baru 1% dari potensi zakat di Indonesia. “Banyak
orang hanya tahu kewajiban membayar zakat fi trah. Padahal ada zakat mal,” kata Direktur Pelaksana Baznas, Teten Kustiawan
Lebih kreatif Bramasetia membenarkan pendapat bahwa masyarakat belum sepenuhnya sadar membayar zakat lantaran keterbatasan
pengetahuan. Selain itu, orang cenderung memilih menyalurkan langsung ke orangorang terdekat. Kebiasaan tidak melalui LAZ ini sudah berlangsung puluhan tahun.

Baznas dan beberapa LAZ yang diwawancarai KONTAN sepakat akan terus meningkatkan sosialisasi penyaluran zakat melalui LAZ ke masyarakat.

Memang, kelembagaan zakat secara resmi baru diatur melalui Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 23 Tahun 2011. “Kami harus sosialisasi lebih komprehensif sekaligus kreatif dan serius membuat program pengumpulan dan penyaluran zakat,”kata Bramasetia.

Sejatinya, pengumpulan zakat melalui LAZ ini memiliki sederet keuntungan. Pertama, dana zakat yang terkumpul dalam jumlah besar sekaligus itu berdaya ungkit lebih besar dalam memaslahatkan umat. Kedua, keikhlasan muzaki lebih terjaga karena mustahik tidak mengetahui pemberi ZIS.

Ketiga, uang zakat tak semata habis dibagikan ke mustahik karena LAZ membuat program penyaluran dana yang berkelanjutan
(sustainable). Salah satunya adalah modal bergulir untuk usaha. Harapannya, imbal hasil pahala atas ZIS itu terus mengalir kepada muzaki.

Vice President Director Lazis Muhammadiyah, M. Khoirul Muttaqin menambahkan, faktor lain yang membuat orang sulit percaya dengan LAZ adalah keterkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dilakukan negara. UU Zakat yang baru menyebut, hanya Baznas sebagai lembaga zakat bentukan pemerintah, yang berhak mengelola zakat. Adapun LAZ lain sekadar membantu tugas Baznas.
“Pengertiannya jadi konotatif. Orang jadi alergi jika pemerintah ikut campur,” katanya. Padahal, bila pemerintah betulbetul
mendorong, potensi zakat sangat luar biasa.

Masalah transparansi juga dirasakan Chief Executive Officer (CEO) Rumah Zakat Indonesia Nur Effendi. Alhasil, masyarakat
harus meraba-raba dan mencari LAZ yang benarbenar akuntabel dalam menerima dan memanfaatkan dana zakat. Belum lagi banyaknya
LAZ yang hadir menjelang Ramadan dan bubar setelah Lebaran.

“Ini mempengaruhi citra LAZ yang lain,” tukas dia. Berbagai kekurangpercayaan masyarakat ini coba dipatahkan dengan upaya transparansi LAZ, mulai dari akuntabilitas saat penghimpunan dan penyaluran hingga penghitungan yang tepat. Dalam membuat laporan keuangan, LAZ harus mengacu pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 109.

LAZ juga mengembangkan metode kampanye dengan masuk ke media sosial dan menggandeng komunitas-komunitas tertentu. Khoirul mencontohkan upayanya mengajak para penggemar Pas Band untuk berzakat.

Peluang penghimpunan zakat yang lebih besar dapat ditopang oleh kehadiran LAZ-LAZ baru di Indonesia. Kondisi ini juga memicu
persaingan antara LAZ dan berpotensi terjadi tumpang tindih. Ketua Pengurus Pusat Lazis Nahdhatul Ulama (NU) Masyhuri Malik meminta persaingan antarLAZ itu hanya terjadi dalam penghimpunan dana zakat.

“Untuk distribusi, harus ada sinergi. Di sinilah seharusnya peran Baznas menjadi koordinator,” katanya. Selain itu, LAZ membuat program penyaluran zakat yang lebih baik. Kini, tren penyaluran zakat tak lagi berbentuk santunan alias bagi-bagi duit. Model seperti ini sekadar menumbuhkan sisi konsumtif penerima zakat. Semua LAZ memiliki program pendayagunaan zakat
yang lebih produktif untuk membantu memberdayakan mustahik agar menjadi mandiri.

"Target besarnya, orang-orang yang tadinya mustahik bisa menjadi muzaki," kata Teten. Target tersebut sudah mulai
terwujud. Bramasetia mengaku ada beberapa orang yang menerima program pemberdayaan PKPU, kini berbalik menjadi “donator” LAZ. Dia mengklaim, mustahik yang menjadi muzaki ada di setiap cabang PKPU di beberapa provinsi. “Terus terang, kami belum bisa menyentuh, mustahik yang miskin absolut untuk menjadi muzaki. Karena kemiskinan bukan sekadar tak berharta,” katanya.

Yang jelas, mengeluarkan ZIS bukan untuk sekadar dipamerkan, tapi menjalankan syariat. Makanya, Bramasetia terus
mengajak orang “membersihkan” harta dengan berinfak dan bersedekah. "Tidak ada ceritanya orang mengeluarkan ZIS lantas jadi melarat," katanya.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 47 XVI 2012, Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×