kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengubah strategi KPR untuk mencapai target


Kamis, 09 Oktober 2014 / 17:58 WIB
Mengubah strategi KPR untuk mencapai target
ILUSTRASI. Makanan untuk Detoks Tubuh secara Alami


Reporter: Herry Prasetyo, Roy Franedya, Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Di masa sulit, para bankir tampaknya semakin kreatif dalam memacu kredit pemilikan rumah (KPR). Wujudnya tak melulu memangkas bunga kredit. Menyasar segmen masyarakat menengah ke bawah dan memperpanjang masa waktu pinjaman juga tak kalah ampuh untuk menjaring nasabah.

Ragam siasat yang dibuat para bankir itu bertujuan memacu pertumbuhan penyaluran KPR yang melambat sejak kuartal IV tahun lalu. Pemicunya, apalagi kalau bukan kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenai kenaikan batas rasio kredit terhadap nilai agunan atau loan to value (LTV) dan larangan pembiayaan rumah kedua dan seterusnya yang berstatus inden. Meski bank sentral berniat baik untuk menjaga kualitas kredit dan melindungi kepentingan konsumen, tak urung dampaknya menjalar hingga ke kinerja perbankan.

Sekadar menyegarkan ingatan, pasca bank sentral merilis aturan larangan pembiayaan rumah kedua dan seterusnya pada September 2013, realisasi penyaluran KPR, terutama residensial rumah tapak dan rumah jangkung memang melambat. Pertumbuhan penyaluran KPR pada kuartal IV 2013 cuma sebesar 2,21% dibandingkan periode sama 2012. Padahal, pada kuartal III 2013, pertumbuhannya mencapai 5,61%.

Realisasi di kuartal I 2014 lebih parah lagi, cuma tumbuh 0,32% dibandingkan periode sama 2013. Kondisi mulai membaik di kuartal II 2014 ketika realisasi penyaluran KPR tumbuh 5,93%. Namun, pertumbuhannya masih lebih kecil dibandingkan kuartal II 2013 yang mencapai 12,33%.

Beralih ke skema lain

Perlambatan penyaluran KPR akibat aturan BI ini tak cuma karena calon nasabah menunda pembelian rumah. Sebagian konsumen, terutama yang mengincar hunian tipe 70 meter persegi (m²) ke atas, beralih ke skema pembiayaan tunai bertahap, alias mencicil langsung ke pengembang.

Menurut Lani Darmawan, Direktur Ritel dan Konsumer BII Maybank, penurunan penyaluran KPR di pasar primer untuk tipe 70 m2 ke atas memang signifikan dan terjadi merata di hampir semua bank. “Penyaluran kredit properti primer di atas 70 m2 turun 35%,” katanya.

Di beberapa pengembang, peralihan dari KPR ke skema tunai bertahap cukup signifikan. Pembeli properti PT Pakuwon Jati Tbk misalnya, tahun ini hanya 25% yang menggunakan fasilitas KPR. Mayoritas pembeli memanfaatkan skema cicilan langsung ke pengembang. “Padahal dua tahun yang lalu, 40%–50% pembelian properti masih lewat bank,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Pakuwon Jati, Ivy Wong.

Bagi pengembang, pola seperti ini membuat arus kas menjadi terganggu. Pasalnya, mereka mesti menyiapkan dana sendiri untuk membangun proyek properti terlebih dahulu.

Untuk pembeli, skema cicilan langsung ke pengembang sejatinya lebih memberatkan ketimbang KPR. Pasalnya, jangka waktu pelunasan lebih pendek sesuai dengan masa pengerjaan proyek. Nilai cicilan pun bergantung perkembangan proyek tersebut. Dus, duit yang mesti disiapkan untuk membayar cicilan menjadi lebih besar. Menurut Ivy, jika dihitung dari mulai pengerjaan sampai proyek selesai, konsumen bisa membayar cicilan 40 kali sampai 48 kali. Periode pembayaran cicilan bisa saban bulan. “Kalau empat tahun, harga jual propertinya bisa 20% lebih mahal dari harga tunai. Misalkan satu tahun bisa 5% di atas harga cash,” tandasnya.

Garap segmen muda

Bank Jabar-Banten (BJB) termasuk yang paling merasakan dampak penyempurnaan aturan LTV oleh bank sentral. Tahun lalu, bank milik pemerintah Provinsi Jawa Barat itu masih bisa menyalurkan KPR sebesar Rp 1 triliun. Namun, mulai tahun ini mereka baru menyalurkan pembiayaan senilai Rp 300 miliar. “ Kalau akhir tahun menjadi Rp 400 miliar, itu saja sudah baik,” kata Fermiyanti, Kepala Divisi KPR dan Mortgage BJB.

menyamai pencapaian tahun 2013, manajemen BJB berikhtiar agar realisasi penyaluran KPR tahun ini tak terlalu jeblok. Untuk itu mereka melakukan strategi seperti lebih fokus membidik karyawan yang membutuhkan rumah pertama. Tipikal nasabah seperti ini biasanya lebih serius mengajukan kredit. Kebiasaan membayar cicilan juga lebih tepat waktu.

Sementara itu, calon nasabah yang berprofesi sebagai pengusaha tidak menjadi prioritas.“Sebab kadang rumah dijadikan lahan investasi sehingga potensi menunggaknya besar,” tukas Fermiyanti.

Selain itu, sembari mengurangi risiko kredit macet, BJB membidik pembiayaan rumah seharga di bawah Rp 400 juta. Pertimbangannya, kemampuan membayar cicilan sebagian masyarakat lebih baik.

Strategi mengubah fokus penyaluran KPR juga ditempuh BII. Anak usaha Maybank asal Malaysia ini mulai mendorong pembiayaan untuk hunian tipe menengah ke bawah, terutama untuk hunian bertipe hingga 70 m2. Pasalnya, untuk tipe rumah yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah tersebut tidak terpengaruh dengan ketentuan LTV.

Selain itu, BII memberikan pilihan tenor kredit yang lebih panjang, yaitu hingga 30 tahun. Masa kredit yang lebih panjang ini bisa dikombinasikan dengan program bunga tetap hingga 10 tahun, yang telah digelar BII sejak tahun lalu.

Hasilnya, banyak nasabah yang tertarik mengambil KPR jenis ini di BII. Maklum, mereka bisa memperoleh jaminan nominal pembayaran cicilan yang tetap selama 10 tahun dengan bunga 12,75%, plus beban cicilan yang lebih ringan sepanjang masa kredit. “Banyak konsumen yang ingin kepastian bunga, takut tidak bisa bayar cicilan,” ujar Lani.

Bagi manajemen BII, ragam strategi tersebut membuat mereka cukup percaya diri dengan penyaluran KPR tahun ini. Meski likuiditas belum sepenuhnya longgar, BII yakin bisa mencapai target pertumbuhan KPR 18%-20% pada tahun ini.

Ke depan, bukan tak mungkin kondisi bakal lebih baik. Seiring penetapan batas atas simpanan oleh Otoritas Jasa Keuangan, bunga kredit bisa berangsurangsur ditekan. Harapannya, bankir menjadi lebih leluasa memoles produk KPR. Dus, pengembang lebih mudah memasarkan dagangannya.

Adapun, konsumen bisa memiliki rumah dengan bunga lebih rendah. “Aturan itu akan membuat kondisi kondusif. Kami harapkan minat beli konsumen akan meningkat,” kata Sekretaris Perusahaan PT Intiland Tbk, Theresia Rustandi.

Semoga tak meleset ya!

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 02 - XIX, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×