Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode Mei 2013 - Juni 2014, Mirza Adityaswara, menganggap asumsi masyarakat mengenai nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlu diubah.
Menurut Mirza, asumsi yang menyatakan jika nilai tukar rupiah menguat dan dipandang positif, perlu untuk ditinjau kembali. Sebab, pelemahan dan penguatan rupiah, harus ditinjau berdasarkan kondisi fundamental ekonomi suatu negara.
"Sampai sekarang masih ada anggapan dimana kurs menguat adalah baik dan kalau melemah berarti buruk. Padahal anggapan itu kurang tepat. Saya rasa anggapan tersebut harus diubah," kata Mirza dalam uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test di Komisi XI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/6).
Mirza menuturkan, dengan kondisi defisit necara perdagangan, Indonesia harusnya tidak terlalu berharap nilai tukar mata uang rupiah terus menguat. Sebab, jika saat ini nilai tukar rupiah terus dipertahankan di bawah level Rp 10.000 per dolar AS, justru hal tersebut akan menimbulkan masalah di kemudian hari, mulai dari makro ekonomi hingga cadangan devisa yang akan terus terkuras.
Menurut Mirza, sebagai negara yang sedang fokus untuk terus mendorong ekspor, Indonesia dinilai perlu mencontoh beberapa negara yang notabene sebagai negara eksportir. "Negara eksportir seperti Jepang, Korea, China, ingin kurs terus melemah karena mereka menginginkan ekspor kuat dan tidak ingin banyak impor," jelas Mirza.
Lebih lanjut Mirza mengungkapkan, jika Indonesia memiliki neraca perdagangan yang positif, maka di titik tersebut, Indonesia layak untuk memiliki nilai tukar mata uang atau kurs rupiah yang menguat terhadap dolar AS. Namun menurut Mirza, jika Indonesia mempunyai neraca perdagangan yang defisit, maka tidak layak memiliki kurs rupiah yang terlalu kuat.
"Karena hal itu akan membuat problem tambah besar," jelas Mirza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News