Reporter: Roy Franedya, Nina Dwiantika | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Industri perbankan penuh perhitungan. Terbukti, para bankir menolak pungutan fee untuk membiayai kegiatan operasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mereka menilai, iuran itu hanya akan menambah biaya. Beban tambahan ini mungkin didistribusikan lagi ke nasabah dalam bentuk kenaikan bunga kredit atau biaya rekening, agar laba bank tetap optimal.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperkirakan, besaran iuran itu di kisaran 0,2% hingga 0,5%. Angka ini mengacu pada fee lembaga sejenis OJK di beberapa negara lain. Angka ini tetap dianggap bank tetap menganggapnya sebagai beban dan karena itu harus ditanggung nasabah.
Padahal dari segi keuntungan, laba bersih perbankan terus menjulang. Pun dari sisi pendapatan bunga bersih alias net interest margin (NIM) bank, rata-rata masih di atas 5%. Bahkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) per kuartal III-2011 mencetak NIM 10,24%. Naik tajam dibandingkan NIM per September 2010 sebesar 9,5%.
Perbankan merasa terbebani karena selama ini sudah membayar premi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 0,2% setahun dari dana pihak ketiga (DPK). Selain itu bank juga menempatkan dana di Bank Indonesia (BI) berupa Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 8%. Dana cadangan ini tidak berbiak, sementara bank mesti membayar bunga ke nasabah.
Ini mempengaruhi biaya dana atau cost of fund, faktor penentu bunga kredit, selain biaya operasional dan premi risiko. "Kalau ongkos naik, margin akan berkurang. Bank tidak bisa terus menerus menerima untungnya mengecil," kata Chief Financial Officer (CFO) Bank BNI, Yap Tjay Soen, Kamis (27/10).
Hingga September 2011 DPK BNI Rp 204,38 triliun, naik 11% dari periode yang sama 2010. Artinya, BNI menyetor GWM sebesar Rp 16,35 triliun dan premi LPS Rp 408,76 miliar. Bila ada fee OJK, dengan kondisi DPK saat ini, BNI harus menyetor dana antara Rp 408,76 miliar - Rp 1,02 triliun.
Direktur Utama BNI, Gatot Murdiantoro Suwondo tak mempermasalahkan premi LPS, karena dananya untuk menjamin DPK. "Kalau OJK, kok, bank harus membayar lembaga yang mengawasinya," ujarnya.
Senada, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), Iqbal Latanro mengatakan, iuran OJK meningkatkan beban. Hal ini berimbas pada kenaikan bunga kredit. "Pasti akan mempengaruhi harga produk," ujarnya.
Per September 2011, BTN mengumpulkan DPK Rp 52,83 triliun, tumbuh 22,77% (yoy). Artinya, GWM yang harus disetor Rp 4,23 triliun dan premi LPS mencapai Rp 105,66 miliar. Tambahan fee untuk OJK antara Rp 105,66 miliar hingga Rp 264,15 miliar.
Agar bank tidak mengeluh terus, DPR mengusulkan fee OJK diambil dari GWM. Argumennya: dana tersebut hanya semacam garansi bank yang kesulitan likuiditas.
DPR tampaknya sulit mengakomodasi keluhan bankir, karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tak mungkin menanggung seluruh biaya OJK. Lagipula, praktik di negara lain, industri membiayai OJK. "Besar fee akan dibahas nanti. Rumusnya, semakin kecil iuran, semakin besar APBN. Kami pasti melibatkan industri," kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR.
Gubernur BI, Darmin Nasution mengatakan, GWM adalah kewajiban bank menempatkan sejumlah dana di BI. Tujuannya bermacam-macam. Salah satunya, merupakan bagian dari kebijakan moneter mengurangi atau menambah likuiditas bank. "Kalau mau dipakai untuk fee OJK tanya ke bank saja, karena dana itu milik bank," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News