Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Perbankan tak lagi mempersoalkan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memungut iuran dari industri keuangan, termasuk bank. Mereka menerima kebijakan ini sebagai konsekuensi dari lembaga pengawas baru.
Selain itu, tak elok jika membebankan ongkos kegiatan OJK ke anggaran negara. "Saat ini sudah tidak ada lagi perdebatan pembayaran fee kepada OJK," kata Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), pada seminar mengenai agenda transisi OJK, Rabu (7/12).
Aturan fee tertuang dalam Bab VIII UU OJK mengenai Rencana Kerja dan Anggaran. Pasal 34 Nomor 2 menyebutkan anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan. Pemerintah menegaskan tak mampu menanggung seluruh biaya, sehingga industri harus berkontribusi.
Namun, belum ada keputusan mengenai besarannya. Opsi yang berkembang saat ini sebesar 0,2% dari dana pihak ketiga, alias setara dengan iuran perbankan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Meski menerimanya, perbankan meminta besaran iuran ditetapkan secara adil alias tak pukul rata. Misalnya, bank beraset besar harus membayar komisi lebih tinggi dibandingkan bank beraset kecil. "Bank Perkreditan Rakyat (BPR) jangan terlalu besar fee karena biaya dana atau cost of fund mereka akan makin tinggi," kata Sigit.
Direktur Tresuri dan Internasional PT Bank Mutiara Tbk (Bank Mutiara), Ahmad Fajar, dan Wakil Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), Evi Firmansyah, berharap persentasenya jangan terlalu tinggi dari pembayaran iuran ke LPS. "Kalau bisa persentasenya di bawah 0,2%," ucap Evi.
Sebelumnya, Sigit mengusulkan iuran OJK diambil saja sebagian dari premi ke LPS. Jadi, bank tidak perlu mengeluarkan dana lagi. Opsi lain menggunakan duit bank di Bank Indonesia yang tersimpan dalam bentuk giro wajib minimum (GWM).
Mulai 2018
Bank menawar besaran fee OJK karena tak mau biaya dana meningkat. Apalagi, ke depan BI sedang semangat menggiring bank melakukan efisiensi agar bunga kredit bisa turun. Nah, kenaikan biaya dana membuat bank makin sulit memperbaiki struktur biaya kreditnya.
Seorang bankir yang enggan disebut namanya, mengungkapkan ketidaksetujuannya atas pungutan OJK. Dia menilai tidak logis pihak yang diawasi membiayai pengawas. Benturan kepentingannya juga tinggi. Selain itu, bank sudah pasti mendistribusikan beban tambahan ini ke nasabah, misalnya dengan memperbesar biaya administrasi atau ke suku bunga.
Bankir kelas menengah ini memahami bahwa pemerintah tidak mungkin menanggung seluruh ongkos OJK. Sebagai jalan keluar, ia mengusulkan premi LPS dikurangi menjadi sebesar 0,1%. Nah, sisanya itu untuk OJK.
Ketua Panitia Khusus OJK, Nusron Wahid, meminta perbankan tidak terlalu mendramatisasi fee OJK. Apalagi, penerapan fee baru akan berlaku setelah lima tahun OJK beroperasi. Artinya, sekitar tahun 2018-2019. Perbankan mulai masuk dalam pengawasan OJK sekitar Januari 2014.
"Kami juga mempertimbangkan pembayaran fee dari bunga GWM," kata anggota DPR dari Fraksi Part Golkar tersebut, di acara seminar yang sama. Soal besaran fee dan mekanisme pembayarannya, lanjut Nusron, akan dikaji oleh Dewan Komisioner OJK terpilih.
Sebelumnya, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, GWM adalah kewajiban bank menempatkan sejumlah dana di BI. Tujuannya bermacam-macam. Salah satunya, merupakan bagian dari kebijakan moneter mengurangi atau menambah likuiditas bank. "Kalau mau dipakai untuk fee OJK, tanya ke bank saja karena dana itu milik bank," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News