Reporter: Ferry Saputra | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK Nomor 22 Tahun 2023. Dalam POJK tersebut, berisi penguatan kewenangan OJK dalam melakukan gugatan perdata.
Aturan POJK Nomor 22 Tahun 2023 itu merupakan tindak lanjut atas amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan menggantikan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan serta menyempurnakan beberapa POJK lainnya.
“Penerbitan POJK Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan merupakan respons cepat OJK selaku regulator atas amanat UU P2SK untuk memperkuat pelindungan konsumen dan masyarakat,” terang Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi dalam keterangan resmi, Senin (8/1).
Secara substansi, penguatan pelindungan konsumen dan masyarakat yang tercakup dalam POJK tersebut salah satunya penguatan kewenangan OJK dalam melakukan gugatan perdata.
Dalam POJK terbaru (No.22/2023) diatur rinci, OJK bisa melakukan pembelaan hukum untuk perlindungan konsumen dan masyarakat. Dalam Pasal 98 ayat (1) OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, meliputi memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen, dan/atau mengajukan gugatan.
Baca Juga: Begini Perkembangan Peralihan Pengawasan Produk Derivatif dari Bappebti ke OJK
Dalam melakukan pembelaan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta dokumen dan/atau informasi kepada PUJK, lembaga penunjang dan profesi yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan/atau pihak lain.
Disebutkan dalam ayat (3), PUJK, lembaga penunjang dan/atau profesi yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib memenuhi permintaan dokumen dan/atau informasi dari OJK sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh OJK.
PUJK, lembaga penunjang, dan/atau profesi yang tidak melaksanakan perintah atau tidak melakukan tindakan tertentu bisa dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang. Adapun dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, pemberhentian pengurus, pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya, hingga pencabutan izin usaha.
Sanksi dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dikenakan paling banyak Rp 15 miliar.
Dalam Pasal 99, pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf b dilakukan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan iktikad tidak baik, atau untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau LJK sebagai akibat dari pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Dalam Pasal 99 ayat (3) gugatan perdata untuk Pelindungan Konsumen dan masyarakat dilakukan berdasarkan penilaian OJK bukan atas permintaan konsumen.
Yang dimaksud berdasarkan penilaian OJK, yakni pelanggaran yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan mengakibatkan kerugian materi bagi konsumen, masyarakat, atau sektor jasa keuangan. Gugatan perdata merupakan gugatan legal standing bukan gugatan perwakilan kelompok (class action).
Selain itu, dalam Pasal 112 dijelaskan Otoritas Jasa Keuangan bisa berkoordinasi dengan Pemerintah dan Bank Indonesia terkait penerapan Pelindungan Konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan.
Adapun bentuknya dalam mengajukan gugatan perdata dan pemberian informasi dan/atau rekomendasi untuk pencabutan izin kantor akuntan publik dan/atau akuntan publik atas pelanggaran yang dilakukan oleh kantor akuntan publik dan/atau akuntan publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News