kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asuransi bencana Tanah Air belum berkembang


Rabu, 28 Januari 2015 / 10:40 WIB
Asuransi bencana Tanah Air belum berkembang
ILUSTRASI. Manfaat Tempe yang Sayang untuk Dilewatkan


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menjajaki pengembangan asuransi bencana dengan General Insurance Association of Japan.  Namun, perbedaan pandangan antara regulator dengan pelaku membuat asuransi bencana ini sulit digarap secara komersial.

Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai, peran pemerintah cukup penting dalam membesarkan industri asuransi bencana. Menurutnya, selama ini, pemerintah belum memaksimalkan kerjasama dengan perusahaan asuransi terkait dengan bencana alam. "Campur tangan dari pemerintah masih kurang dibandingkan dengan negara lain," kata Julian.

Asal tahu saja, pemerintah masih menggunakan skema bantuan langsung apabila terjadi bencana alam. Sumber dananya berasal dari pos pencadangan di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Padahal, belum tentu dana pencadangan di anggaran belanja yang dimiliki pemerintah ini cukup untuk menutup kerugian akibat bencana tersebut. Salah-salah masyarakat justru hanya diberi janji bantuan tanpa realisasi.

Lain ceritanya jika pemerintah membelanjakan dana APBN dan APBD untuk membayar polis asuransi bencana. Keuntungannya, jika terjadi bencana alam, terutama yang menyebabkan kerugian cukup besar, pihak yang akan menanggung adalah perusahaan asuransi.

Julian menambahkan, pihak asuransi dan OJK sudah beberapa kali menggelar pertemuan membahas asuransi bencana alam ini. Namun, harapan untuk menyamakan pandangan belum juga kesampaian. "Memang masalah plus minusnya ini yang belum sampai ke titik temu," ungkap Julian.

Tak cuma dari sisi pemerintah, menurut Julian, faktor lainnya yang membuat industri asuransi sulit berkembang adalah reasuransi. Lantaran penghitungan risikonya terbilang besar, kemampuan kemampuan reasuransi di dalam negeri juga harus diperkuat.

Kendati belum semaju Jepang, Julian mengklaim, Indonesia tidak terlalu tertinggal.  Hal ini tercermin dari  langkah beberapa pelaku industri asuransi umum yang mendirikan Pool Reasuransi Gempa Bumi Indonesia (PRGBI) dan kemudian bertransformasi menjadi PT Reasuransi Maipark Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×