Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sejumlah bank mulai berhati-hati dalam menyalurkan kredit impor. Contohnya PT CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga).
Frans Alimhamzah, Direktur Bisnis Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) mengatakan, pihaknya tidak mau agresif menyalurkan kredit impor. Saat ini CIMB lebih mengutamakan memberikan pinjaman ke debitur yang memiliki penghasilan dalam valuta asing (valas).
Langkah itu dilakukan untuk menahan kenaikan NPL. Saat ini, non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah kredit valas CIMB Niaga masih di bawah 3%.
Adapun porsi kredit ekspor impor terhadap total kredit CIMB Niaga sekitar 10%. Pertumbuhan kredit ekspor impor bank ini sekitar 6% hingga 7% per tahun. “Kredit impor kami hanya sekitar 1% dari portofolio kredit non-ritel,” kata Frans.
Begitu pula dengan PT Bank Mayapada International Tbk. Menurut Haryono Tjahjarijadi, Presiden Direktur Bank Mayapada, penyaluran kredit impor Bank Mayapada relatif kecil dan pertumbuhannya flat. Sebagian besar kredit impor Mayapada perbankan mengalir ke segmen industri padat modal.
Menurut Haryono, setiap pertumbuhan kredit akan membuka potensi kenaikan NPL. “Kenaikan NPL itu merupakan risiko bisnis yang tak terhindarkan,” katanya.
Itu sebabnya, kata dia, saat rupiah melemah dan di tengah kondisi ekonomi yang belum kondusif seperti sekarang, pemberian segala bentuk kredit harus lebih ketat.
Wajar jika bankir mewaspadai risiko kredit impor. Pasalnya, angka NPL di segmen kredit impor mengalami kenaikan. Nilai kredit impor bermasalah hingga April 2018 mencapai Rp 1,38 triliun atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 911 miliar.
Bukan mustahil, angka NPL kredit impor akan meningkat pada kuartal dua tahun ini. Hal ini terjadi seiring dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah, BI telah menaikkan bunga acuan.
Pada akhir Juni lalu, BI memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 5,25%.
Efek ini bisa berdampak terhadap kenaikan bunga kredit perbankan dalam dua bulan sampai tiga bulan ke depan. Sampai kuartal I-2018, rata rata bunga kredit 11,20%. Dengan bunga kredit 11,20% pertumbuhan kredit hanya 8,5%.
Nah, jika bunga kredit naik mengekor kenaikan bunga acuan, “Maka tekanan debitur juga semakin besar,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Dengan kondisi tersebut, pelaku usaha akan kian kesulitan melunasi pinjaman bank dengan bunga yang mahal. Cost of fund atau biaya pinjaman jadi membengkak dan menggerus pendapatan usaha. Otomatis risiko kredit macet akan naik.
Sampai kuartal I-2018, NPL kredit perbankan masih 2,75%, sedikit turun dibandingkan bulan sebelumnya. Karena itu, Bhima menyarankan bank harus hati-hati melihat profil calon debitur.
Soalnya, ada beberapa debitur yang sangat tergantung terhadap impor bahan baku dan barang modal dan rentan mengalami kredit macet. Selain itu, ada debitur yang memiliki utang luar negeri, namun tidak melakukan hedging, sehingga berisiko lebih tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News