Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Fitri Arifenie
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah sudah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Perasuransian untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Jika sudah berlaku sebagai undang-undang maka perusahaan asuransi baru tidak lagi diizinkan membuka unit usaha syariah (UUS).
Menurut Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Bidang Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), beleid anyar itu mengatur asuransi syariah tidak lagi masuk dalam unit usaha. Jadi, pelaku usaha yang ingin berbisnis asuransi syariah harus membentuk badan usaha berstatus perseroan terbatas.
Yang menarik, peraturan tersebut berlaku surut. Alhasil, perusahaan asuransi yang masih memiliki unit usaha syariah (UUS) saat ini diwajibkan memisahkan (spin off) usaha itu menjadi anak usaha. "Supaya lebih kuat, lebih serius. Itu alasan pemerintah dengan DPR, saya bagian yang mengawasinya," kata Firdaus, Senin (15/6).
Pemerintah memberikan tenggat kepada perusahaan asuransi untuk melepaskan unit usaha syariahnya dalam jangka waktu 10 tahun. Sebelumnya, di dalam draf RUU yang lama, pemisahan unit usaha asuransi harus dilakukan dalam waktu tiga tahun. Perubahan tersebut untuk menyamakan dengan peraturan yang diterapkan kepada bank syariah.
Hal lainnya adalah perlindungan pemegang polis. Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta penjamin polis. Tapi, lembaga perlindungan pemegang polis akan diatur dalam undang-undang tersendiri paling lama 3 tahun sejak UU Perasuransian disahkan. Sebelum terbentuk lembaga perlindungan pemegang polis, perusahaan asuransi wajib membentuk dana jaminan.
Salusra Satria, Direktur Eksekutif Penjamin dan Manajemen Risiko Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengaku siap jika ditunjuk menjadi lembaga penjamin polis asuransi. "Jadi ada berbagai contoh. Pola mana yang akhirnya dipilih, kami siap saja," ujar Salusra.
Kepemilikan asing
Di sisi lain, beleid anyar itu juga mengatur kepemilikan asing. Bagi warga asing yang ingin menanamkan modalnya di perusahaan asuransi hanya dapat melalui transaksi di bursa efek. Sedangkan porsi kepemilikan asing akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Firdaus bilang, kepemilikan asing dalam perusahaan asuransi tidak boleh lebih dari 80%. Ketentuan ini berlaku untuk perusahaan asuransi baru. Namun, Firdaus belum memberikan kepastian besaran angka pembatasan asing di perusahaan asuransi. "Masih akan kami kaji terlebih dahulu. Kami diberikan waktu 2 tahun untuk membuat peraturannya," katanya.
Sementara itu, bagi pemodal asing yang sudah telanjur memiliki saham lebih dari ketentuan, pemerintah akan memberikan waktu untuk melepas kepemilikan sahamnya. "Kami mendorong untuk go public," kata Firdaus.
Anggota Komisi XI DPR dari Partai Hanura, Fauzi Ahmad, mengusulkan supaya kepemilikan asing dibatasi paling tinggi hanya 40%. Dengan begitu, perusahaan lokal bisa menjadi mayoritas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News