Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bertumpuknya penugasan pemerintah yang dilimpahkan ke bank-bank BUMN perlu menjadi perhatian. Terlebih, hal tersebut dinilai bisa jadi sentimen negatif kala harga saham mereka sedang dalam koreksi.
Seperti diketahui, belum ada setahun Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, pemerintah telah merencanakan berbagai program yang membutuhkan bantuan bank pelat merah. Mulai dari koperasi desa merah putih, program tiga juta rumah hingga hilirisasi
Di sisi lain, saham-saham Bank BUMN terus mengalami tren koreksi sejak awal tahun. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) menjadi yang paling tertekan sejak awal tahun karena sudah turun 28,15% menjadi Rp 855 per saham.
Selanjutnya, ada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang turun paling dalam sekitar 17,26% year to date menjadi Rp 4.840 per saham. Diikuti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang turun 9,5% menjadi Rp 3.810 per saham.
Baca Juga: Terkoreksi di Akhir Pekan, Tapi Saham Bank Besar Menguat dalam Perdagangan Sepekan
PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga tercatat kompak dalam tren koreksi ini. Harga saham bank syariah terbesar di tanah air ini turun 7,19% sejak awal tahun menjadi Rp 2.580 per saham.
Terakhir, ada PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang koreksinya paling sedikit di antara bank BUMN lainnya. Di mana, penurunannya hanya sekitar 1,09% menjadi Rp 4.540 per saham.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Indy Naila pun berpandangan beban-beban berat yang dilimpahkan ke bank BUMN akan menjadi sentimen yang negatif. Sebab, ia menilai itu bisa mempengaruhi kinerja keuangan perbankan.
Dalam hal ini, Indy menyoroti ada kekhawatiran ada tantangan likuiditas yang saat ini belum teratasi. Mengingat, sekarang pertumbuhan DPK perbankan masih melambat.
“Sentimen ini menjadi salah satu sentimen yang dapat membuat saham-saham bank turun,” ujar Indy, akhir pekan lalu.
Namun, ia melihat program-program seperti ini bersifat akan jangka pendek mempengaruhi laporan keuangannya. Hanya saja, hal tersebut memang harus terus dipantau implementasinya.
Indy pun bilang kalau memang investor ingin masuk ke saham bank-bank BUMN, ia merekomendasikan BMRI, BBNI, dan BBRI. Menurutnya, itu karena menjelang pembagian dividen dari emiten bank-bank tersebut.
“Karena PER juga masih kecil dan potensi dividen yield besar,” ujarnya.
Sementara itu, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan menyoroti adanya risiko kualitas kredit jika bank-bank BUMN ini diberi beban berat. Terlebih, jika program tersebut menargetkan segmen masyarakat dengan daya beli yang lebih rendah.
Ia mencontohkan program seperti pembangunan 3 juta rumah yang jika dijalankan tanpa mitigasi risiko yang kuat, bank-bank BUMN bisa menghadapi tantangan dalam menjaga profitabilitas mereka. Mengingat, sektor properti saat ini masih dalam fase pemulihan, dan daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.
Di sisi lain, Ekky melihat ada sisi positif dari keterlibatan bank BUMN dalam proyek nasional. Salah satunya meningkatkan volume kredit, memperkuat peran bank dalam perekonomian nasional, serta memberikan kepastian aliran bisnis jangka panjang.
Menurutnya, dengan adanya proyek-proyek berskala besar yang dijamin oleh pemerintah, bank-bank tersebut bisa memperoleh pendapatan yang stabil dari bunga kredit dan fee-based income.
“Jadi menurut saya rencana terlibatnya bank-bank besar ini untuk mendukung program pemerintahan bukan berita bagus untuk emiten. Namun untuk pergerakan saham tidak hanya dari faktor ini,” jelas Ekky.
Ia pun bilang jika investor ingin membeli saham bank-bank BUMN ini untuk trading masih bagus karena momentum dividen. Hanya saja, untuk jangka panjang, ia justru merekomendasikan BRIS dengan target harga Rp 3.350 per saham.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menambahkan secara jangka pendek, Berbagai penugasan ini akan memberikan tekanan terutama ditengah situasi dan kondisi yang penuh dengan tantangan.
Hanya saja, secara jangka panjang, perbankan juga diharapkan bisa mengukur risk dan rewardnya juga. Di mana, itu akan kembali pada strategi manajemen yang mereka gunakan nantinya dalam menghadapi penugasan tersebut.
“Jangan sampai mereka mendorong program untuk berjalan, tapi mengorbankan kinerja keuangannya yang nantinya juga nantinya memberikan implikasi yang tidak baik secara valuasi di masa yang akan datang,” ujarnya.
Adapun, Nico telah menurunkan target harga dari saham perbankan di tahun ini. Misalnya, target BMRI yang awalnya Rp 7.800 kini menjadi Rp 7.000. Sama halnya untuk BBRI yang awalnya di Rp 5.600 menjadi Rp 5.050.
Selanjutnya, target harga untuk BBNI kini hanya Rp 5.800 dari yang awalnya di level Rp 6.300. Nico bilang itu menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada terkait kinerja perbankan saat ini.
Sementara itu, Corporate Secretary BBTN Ramon Armando pun optimistis berbagai program pemerintah yang diberikan kepada bank BUMN bisa dijalankan. Terutama, program tiga juta rumah yang sesuai dengan karakteristik BBTN sebagai bank penyalur KPR terbesar.
Menurutnya, BTN berada dalam posisi yang sangat menguntungkan untuk berperan sebagai mitra utama dalam mendukung realisasi program ini. Sebab, ini memberikan peluang besar bagi BTN dalam memperluas bisnis dan meningkatkan pendapatan.
“BTN dapat memperbesar portofolio kreditnya secara signifikan, sehingga memperkuat pangsa pasar dan skala bisnisnya di sektor perbankan nasional,” ujar Ramon.
Hanya saja, Ramon menegaskan bahwa pertumbuhan ini tetap harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang sejalan dengan risk appetite yang telah ditetapkan, memastikan bahwa ekspansi kredit tetap terkendali dan tidak mengorbankan kualitas aset.
Baca Juga: Dua Direktur Bank BNI Borong Saham BBNI
Selanjutnya: Cek Jadwal Buka Puasa Kota Medan Hari Ini Minggu 9 Maret 2025 di Bulan Ramadan
Menarik Dibaca: 14 Ramuan untuk Menurunkan Kolesterol Tinggi secara Alami
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News