kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,25   5,92   0.66%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI buang-buang waktu merancang beleid kepemilikan


Rabu, 20 Juni 2012 / 11:24 WIB
BI buang-buang waktu merancang beleid kepemilikan
ILUSTRASI. Salah satu cara membersihkan pembuluh darah adalah dengan mengonsumsi kunyit.


Reporter: Nurul Kolbi |

JAKARTA. Dua tahun terakhir, jagat perbankan heboh oleh ren­cana Bank Indonesia (BI) mengatur kepemilikan bank. Investor di perbankan cemas, saham mereka bakal berkurang. Maklum, di berbagai kesempatan, Darmin Nasution, Gubernur BI, selalu mengatakan tata kelola yang baik hanya akan tercapai jika pemilik bank terdiri dari banyak pihak.

Rencana bank sentral juga membuat calon investor gagal merealisasikan agenda mereka: mengakuisisi bank. Menurut sumber KONTAN, selama 2010 – 2012, terdapat sekitar 17 bank yang mengajukan izin kawin dengan investor asing. Regulator menunda semua permohonan hingga aturan tersebut kelar.

Kini, setelah BI memublikasikan garis besar regulasi, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Investor asing, baik yang sudah memiliki bank di Indonesia maupun yang akan datang bisa bersorak-sorai. Regulasi sulit menjangkau mereka.

Dalam aturan itu, BI menggariskan beberapa poin penting. Pertama, divestasi untuk bank hanya berlaku bagi bank yang Good Corporate Governance (GCG) dan tingkat kesehatannya jelek atau di peringkat dua ke bawah. Kedua, bank dengan rating BBB berhak menggenggam saham bank hingga di atas 50%. Ketiga, bank bermodal kuat boleh menjalankan semua bisnis. Yang terakhir ini akan diatur lewat aturan multiple license.

Ketiga poin itu mengandung konsekuensi. Satu, tak ada yang berubah dari peta kepemilikan bank kelas menengah ke atas. Dua, bisnis mereka tetap seperti sedia kala. Tiga, ekspansi mereka tak terbatas.

Lupakan mimpi regulator kita bakal seperti Bank Negara Malaysia (BNM) atau Monetary Authority of Singapore (MAS), yang membatasi gerak dan kepemilikan bank asing. Fondasi aturan kepemilikan, ataupun multiple license, tak memungkinkan itu terjadi.

Pangkalnya ada di pengaitan aturan dengan tingkat GCG, kesehatan dan permodalan. Prinsip ini menyebabkan bank besar, termasuk asing, bebas dari kewajiban divestasi. Mereka sehat, GCG bagus dan bermodal kuat. Jadi, Maybank akan tetap menggenggam 97,29% saham BII, CIMB Group tetap menguasai 96,92% saham CIMB Niaga. Begitu pula dengan Danamon, UOB, OCBC NISP, ICBC, ICB Bumiputera, Bank Ekonomi, BTPN dan seterusnya.

Jika melihat dampak minimal itu, BI bisa dibilang hanya membuang energi. Sebab, menegakkan GCG dan menata ulang kepemilikan bank kecil, BI cukup mengoptimalkan beleid yang ada.

Salah satunya Peraturan BI (PBI) nomor 13/3/2011 tentang Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank. Dalam aturan yang berlaku Januari 2011 itu, BI membuat dua kategori. Yakni, bank dalam pengawasan intensif dan bank dalam pengawasan khusus. Perlakuan keduanya berbeda. Jika statusnya pengawasan khusus, artinya kondisi bank sangat buruk alias mendekati bangkrut. BI menetapkan batas waktu tiga bulan untuk berbenah.

Sedangkan status bank dalam pengawasan intensif, BI memberi kesempatan memperbaiki diri selama satu tahun. Jika gagal, statusnya bisa turun dari pengawasan intensif menjadi khusus.

Lewat PBI ini, BI menetapkan apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan bank. BI juga berhak melakukan serangkaian tindakan, termasuk memaksa pemilik melepas sahamnya. (lihat tabel: Bank di Bawah Pengawasan Intensif).

Jadi, sejatinya, BI memiliki alat memadai untuk memaksa bank tak sehat untuk merger atau divestasi. Kalau kurang efektif, BI bisa revisi. Darmin menilai, aturan yang ada tidak mujarab. "Aturan kepemilikan menyempurnakan. Kami bisa memaksa bank berperingkat di bawah dua divestasi," katanya.

Selain tak mengubah kepemilikan bank, beleid ini juga memungkinkan bank asing leluasa ekspansi. Mulia Effendi Siregar, Direktur Eksekutif BI bidang Pengaturan, mengatakan, selama bermodal besar dan kuat, bank bebas berbisnis apa saja. Pembatasan hanya untuk bank bermodal kecil.

BI memang berjanji memberikan syarat tambahan agar bank lebih berkontribusi terhadap perekonomian. Misalnya, jika berekspansi di kota besar, mereka juga harus ke wilayah tertinggal. Tujuannya agar akses ke perbankan semakin luas.

Realisasi cita-cita mulia itu tergantung objektivitas regulator. Masalahnya, pengawasan dan perizinan bakal berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kecemasan itu bisa saja di­-minimalisasi dengan me­nga­tur rinci hal-hal subjektif agar tak ada ruang bagi OJK me­nafsirkan aturan secara be­bas. BI bisa menyebutkan, sekian persen dari kredit harus produktif. Atau, setiap buka cabang di pusat kota, bank harus membuka beberapa outlet di daerah pinggiran.

Kelemahan lain, ada di poin yang membolehkan bank berating BBB memiliki saham bank hingga di atas 50%. BI bermaksud baik, agar bank di Indonesia dimiliki investor bermodal kuat dan berkomitmen tinggi.

BI juga akan merevisi aturan single presence policy, agar bank nasional bisa ikut memanfaatkan peluang. Tapi, berapa banyak bank nasional yang mampu?

Untuk menghindarkan dominasi asing, ekonom Tony Prasetyantono menyarankan BI memprioritaskan bank nasional membeli bank bermasalah. Tapi, apakah BI atau OJK mau intervensi proses negosiasi?

Akhirnya, publik dipaksa memahami kondisi yang bakal terjadi, termasuk melihat sepak terjang bank asing di negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×