kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Takut aturan tidak efektif, BI memilih kompromi


Senin, 18 Juni 2012 / 23:27 WIB
Takut aturan tidak efektif, BI memilih kompromi
ILUSTRASI. Kunyit dan bahan alami lain dapat Anda gunakan sebagai cara menghilangkan bulu ketiak.


Reporter: Nurul Kolbi |

"Kami tidak mau membuat aturan yang tidak bisa diterapkan. Regulasi itu harus workable, dan bermanfaat. Inilah yang paling bisa kami lakukan,".

Ini sebagian curhat Darmin Nasution pada pertemuan dengan media, pekan lalu. Gubernur Bank Indonesia itu tampaknya ingin meredam kritik dengan menceritakan berbagai kesulitan BI ketika merancang aturan. Dari nada ucapannya, dia sadar aturan ini berpotensi gagal menyenangkan pihak yang selama ini gerah dengan sepak terjang asing.

Ide aturan kepemilikan bank di tangan satu pihak sejatinya ada sejak lama. Namun BI baru menginisiasinya pada 2010. Ada beberapa faktor yang melatari. Antara lain, krisis 2008, bangkrutnya bank keluarga selama satu dekade sejak 2000, gagalnya konsolidasi bank melalui merger, dan penguatan modal untuk masa mendatang.

Dari krisis 2008, BI belajar pentingnya daya tahan bank, rendahnya komitmen pemilik dan buruknya tata kelola (GCG). Saat itu, banyak bank nyaris kolaps. Nama-nama banknya juga sudah sliweran di masyarakat dan pembocor informasi sempat diperkarakan. Jadi, bukan hanya Bank Century.

Bank yang selamat dari tsunami finansial itu kembali melanjutkan kebiasaan lama; keluar masuk ruang perawatan BI. Umumnya, mereka bank kecil milik keluarga. BI, klaim Darmin, sudah sering mengingatkan pemiliknya untuk tambah modal atau merger dengan bank lain. Namun, tidak mempan.

Mereka memilih mengulur waktu sambil mencari investor asing. "Kami tidak bisa menindak lebih jauh karena tingkat kesehatan mereka selalu di level 3. Kalau tingkat 5, lain cerita," katanya. Tingkat komposit 3 artinya bank cukup sehat. Sedangkan tingkat 5 berarti buruk.

BI juga pernah menggelar seleksi alam lewat peraturan modal minimal Rp 100 miliar. Tapi, hingga batas waktu yang ditetapkan, bank kecil ini sanggup tambah modal meski hanya Rp 5 miliar .

Hanya beberapa bank yang terjerat, salah satunya Bank Eksekutif. Recapital mengakuisisi bank milik keluarga Widjaja itu pada 2010 dan mengganti namanya menjadi Bank Pundi. "Lewat regulasi baru, kami bisa memaksa bank yang peringkatnya 2 ke bawah. Mereka punya waktu tiga kali enam bulan untuk berbenah. Jika gagal, wajib divestasi," katanya.

Menurut Darmin, penguatan modal sangat penting agar bank sanggup menyerap risiko. Saat kondisi normal, bank kecil terlihat biasa-biasa saja. Tapi ketika krisis menerjang, mereka cepat tenggelam. Pemiliknya cenderung lepas tangan. Negara kemudian kena getah dalam bentuk kebijakan bailout.

Jadi, kalau ini tak dibenahi, efeknya luar biasa besar. "Permodalan dan GCG juga isu penting di berbagai pertemuan G-20, sebagai pembelajaran krisis 2008," kata Darmin. Dari konteks ini, BI merancang aturan.

Draft awal terbilang progresif. Semua pemilik bank, tanpa terkecuali, harus melepas saham. Targetnya, bank dimiliki hingga empat pihak. BI percaya GCG yang ideal akan tercapai jika bank dikontrol banyak pemilik.

Tahap berikutnya merancang mekanisme divestasi. Pilihannya bisa lewat pasar modal, strategic sale ataupun merger. Masa transisi diusulkan 10 tahun. Agar efektif, BI membuat periodisasi dengan prioritas divestasi untuk bank keluarga. Setelah itu bank besar, termasuk milik asing. Prinsipnya, investor yang masuk belakangan, divestasinya paling akhir.

BI juga menyiapkan argumen jika ada pihak yang membenturkan beleid ini dengan PP nomor 29 tahun 1999. PP tersebut menjadi legitimasi asing berhak mengenggam saham bank hingga 99%. "Aturan tak bertentangan karena asing tetap boleh punya 99%. Yang penting terdiri dari banyak pihak," kata Darmin, kala itu.

Setelah merampungkan draft awal, BI melakukan simulasi. Ini untuk mengukur efektivitas aturan dan dampaknya terhadap industri. Hasilnya, mengecewakan. "Saham yang harus dilepas sangat banyak dan luar biasa mahal," kata Darmin, penuh penekanan. Sekalipun masa transisi dipanjangkan hingga 15 tahun, saham-saham itu belum terserap. Estimasi kasar, saham bank yang harus di divestasi minimal Rp 20 triliun per tahun.

Sumber KONTAN bercerita BI sempat memetakan pengusaha nasional yang siap menyerap saham bank. Hasilnya tetap kurang meyakinkan. "Taipan minyak sekelas Arifin Panigoro (pemilik Bank Saudara) dan Alim Markus (pemilik Bank Maspion) saja nyari investor baru," kata si sumber itu.

Arifin menjual sahamnya ke Woori Bank asal Korea Selatan, sedangkan Alim sempat bernegosiasi dengan China Construction Bank.

Ada juga beberapa konglomerat besar dan berpengalaman mengelola bank. Mereka ini investor potensial. Tapi, kendalanya, mereka pernah terbelit kasus BLBI. Karena masuk daftar tidak lulus (dulu istilahnya daftar orang tercela/DOT), mereka susah jadi pengendali bank.

Kendala yang sama juga muncul ketika divestasi lewat pasar modal. Selama investor beli saham kurang dari 25%, tak ada masalah. Tapi kalau lebih dari 25%, investor harus fit and proper di BI. "Nah, ketika ditelusuri dananya sampai ke ultimate shareholder, bisa saja kembali lagi ke pengemplang BLBI," katanya.

BI sempat berharap kepada institusi pengelola dana seperti Jamsostek, Dana Pensiun, atau Asuransi. Namun, prosesnya tidak gampang. Aturan penempatan dana mereka kaku, sehingga porsi saham yang dikempit tidak optimal. Waktu nawar bank Bukopin saja Jamsostek tidak diperkenankan.

Di luar kerumitan itu, berbisnis bank memang tidak murah. Misalkan membeli bank seharga Rp 500 miliar, investor harus menyiapkan dana tiga kali lipat untuk ekspansi dan penguatan modal. Dana itu harus siap keluar kapan saja. "Institusi pengelola dana tidak siap untuk ini," kata si sumber itu.

Dari sini, BI berdamai dengan keadaan. Lalu, terbitlah ide pengkaitan aturan dengan tingkat kesehatan bank. Prinsipnya, bank sehat tidak terkena aturan. Selain itu, institusi perbankan bisa memiliki saham hingga di atas 50%.

Untuk meraih simpati publik, BI janji mengetatkan izin lewat aturan multiple lisence. Selain itu, merevisi kebijakan single presence policy agar perbankan nasional bisa ikut memanfaatkan peluang dari pemberlakuan aturan kepemilikan. Apa saja kelemahan aturan ini? (bersambung) n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×