Reporter: Steffi Indrajana | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ingin mengubah nama yang selama ini diusungnya menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Menurut Ketua DPP Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tjuk Supriarto, nama BPR selama ini memberikan dampak psikologis pada masyarakat terkait pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
"Dengan nama perkreditan, mereka mengira bank ini hanya untuk mengambil kredit, bukan untuk mengumpulkan tabungan dan deposito," cetus Tjuk.
Selain itu, Direktur Utama UKM Center FEUI Nining Soesilo bilang, selama ini juga ada anggapan kalau BPR merupakan rentenir dalam bentuk bank.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menambahkan, BPR sendiri telah mengajukan perubahan nama ini ke Komisi XI DPR. Dan secara prinsip, DPR telah menyetujuinya. "Namun untuk mengubah nama ini harus menunggu ada amandemen pada undang-undang perbankan," imbuh Joko.
Undang-Undang perbankan pasal 14 C terkait peraturan BPR tidak boleh memberikan penyertaan lebih dari 20% dari total aset. "Sedangkan kalau mau buat APEX, penyertaan biasanya lebih dari 20%. Dengan peraturan itu kan jadi susah. Jadi kami minta untuk di amandemen," ujar Tjuk.
Hal ini juga terkait dengan BPR yang tidak memiliki lender of the last resort. "Jadi kalau tidak ada likuiditas ya bisa mati, berbeda dengan bank umum yang memiliki jaminan," jelas Nining. Jika tidak ada APEX, BPR yang tidak ada likuiditas akan mati.
Sampai saat ini baru ada lima APEX resmi, yaitu di Riau, Sumatera Barat, Bali, Jawa Tengah, dan Jabodetabek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News