kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Defisit neraca berimbas pada leletnya pelunasan BLBI


Rabu, 13 Oktober 2010 / 13:34 WIB
Defisit neraca berimbas pada leletnya pelunasan BLBI
ILUSTRASI.


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Membengkaknya ongkos moneter yang harus dikeluarkan Bank Indonesia seiring semakin banjirnya ekses likuiditas yang harus disedot di sistem keuangan, bakal mempengaruhi progress pelunasan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Pasalnya, penurunan rasio modal akibat kian lebarnya defisit neraca akan berimbas pada ketiadaan surplus neraca BI yang mestinya bisa diambil untuk pencicilan BLBI.

Sekadar menyegarkan ingatan publik, dampak dari krisis 1997 lalu adalah lahirnya kebijakan rekapitalisasi perbankan dalam apa yang dikenal publik saat ini sebagai BLBI. Di mana ketika itu BI memberikan suntikan likuiditas ratusan triliun untuk menyelamatkan banyak bank yang kolaps terhempas krisis moneter.

Nah, sampai tahun lalu, sisa tanggungan BLBI yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia masih sebesar Rp 126,7 triliun. Alias baru tercicil Rp 17,8 triliun. Sesuai kesepakatan pemerintah dengan BI tanggal 1 Agustus 2003 lalu, nilai BLBI yang disepakati untuk diselesaikan adalah sebesar Rp 144,5 triliun. Untuk itu, pemerintah menerbitkan surat utang baru pengganti surat utang nomor SU-001/MK/1998 dan SU-003/MK/1999.

Nama surat utang baru tersebut adalah Obligasi Negara Nomor Seri SRBI-01/MK/2003 yang diterbitkan 7 Agustus 2003 dan mulai berlaku 1 Agustus 2003, tanpa indeksasi, berjangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang. Bunganya sebesar 0,1% per tahun dari sisa nilai pokoknya dan dibayarkan oleh pemerintah kepada BI setiap enam bulan sekali yakni setiap Februari dan Agustus. Obligasi tersebut tidak bisa diperdagangkan serta dimiliki BI hingga jatuh tempo.

Nah, sumber pelunasannya adalah menggunakan ukuran rasio modal BI terhadap kewajiban moneter sebesar 3% hingga 10%. "Sumber pelunasan dari surplus BI, apabila rasio modal BI terhadap kewajiban moneter BI di atas 10%. Jadi, pelunasannya sudah dilakukan beberapa kali," jelas Deputi Gubernur BI Ardhayadi Mitroatmodjo kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.

Jika rasio modal terhadap kewajiban moneter BI kurang dari 3%, maka pemerintah menomboki BI sebesar kekurangan dana yang diperlukan untuk mencapai rasio modal tersebut. Sebaliknya, jika rasio modal BI sama dengan atau di atas 3% tetapi berada di bawah atau sama dengan 10%, maka pemerintah tidak menerima bagian surplus BI dan pemerintah tidak perlu menyediakan anggaran untuk menomboki kekurangan modal BI. "Sumber pelunasan memang berasal dari surplus BI, namun sebenarnya itu merupakan bagian dari pemerintah yang digunakan untuk membayar pokok SRBI-01," imbuh Ardhayadi.

Rasio modal BI beberapa tahun terakhir terus terjadi penurunan akibat semakin menganganya defisit yang disebabkan besarnya ongkos moneter. Dengan kalimat lain bisa dikatakan, besarnya defisit neraca BI yang bisa berujung pada penurunan rasio modal bank sentral juga akan berimbas pada tersendatnya proses pelunasan BLBI.

Seperti saat ini, posisi rasio modal BI di bawah 10%, maka tidak ada bagian dari surplus BI yang diambil untuk mencicil BLBI. Terlebih jika proyeksi defisit neraca BI tahun 2010 ini sebesar Rp 22,4 triliun terlampaui. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang harus terus memikul bebannya. Karena beban pembayaran BLBI tersebut praktis terhitung dalam APBN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×