Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan, fintech pertanian masih potensial untuk berkembang pesat. Alasannya, mayoritas petani Indonesia unbankable alias tidak bisa mendapatkan pinjaman bank.
Padahal, menurut Wakil Ketua Market Support AFPI Pamitra Wineka, sektor ini penyumbang terbesar kedua pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, sebanyak 30% lapangan pekerjaan Indonesia ada di sektor pertanian.
Oleh karena itu, menurut dia, keberadaan fintech pertanian menjadi harapan besar bagi petani-petani di negara ini. "Diharapkan dapat membantu meningkatkan output hasil pertanian Indonesia," kata pria yang akrab disapa Eka saat dihubungi Kontan, Senin (4/3).
Untuk mengembangkan fintech sektor ini, ada cara-cara yang perlu dijalankan dan menjadi perhatian. Pertama, perusahaan fintech perlu memitigasi risiko gagal panen dengan baik. Alasannya, orang-orang pada umumnya enggan berinvestasi di sektor ini karena risiko gagal panen tersebut.
Kedua, fintech perlu membangun sistem pendukung bagi para petani. Mulai dari sarana produksi berkualitas seperti bibit dan pupuk, akses pemasaran, dan juga instrumen perlindungan melalui asuransi.
Menurut Eka, apabila hanya mendapatkan dana tapi tidak bisa mendapatkan bibit berkualitas, maka hasil panennya bisa tidak maksimal. "Begitu juga apabila sudah mendapatkan pendanaan dan sarana produksi berkualitas, tetapi pada saat panen tidak ada pembeli, petani justru akan kesulitan mengembalikan pinjamannya," kata dia.
Ketiga adalah asuransi pertanian. Hal ini menjadi penting karena menurut dia, risiko di sektor pertanian cukup banyak. Oleh karena itu, asuransi dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan para pemberi pinjaman, terutama terkait perlindungan terhadap gagal panen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News