Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Saham emiten perbankan meriang. Pekan lalu, dalam dua hari berturut-turut, yakni pada Rabu (8/5) dan Kamis (9/5), sektor jasa keuangan terkoreksi. Rabu, indeks sektor jasa keuangan terkoreksi 0,89%. Sehari kemudian, indeks yang sama terpuruk 0,57%.
Sektor jasa keuangan menjadi bandul terberat pelemahan indeks harga saham gabungan (IHSG). Pada penutupan bursa Kamis pekan lalu, misalnya, IHSG ditutup minus 1,14% atau turun 71,40 poin ke level 6.198,8 dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Bisa ditebak, sektor jasa keuangan terkoreksi seiring dengan aksi jual yang menerpa saham-saham emiten bank, terutama bank BUKU 4 yang memiliki modal inti di atas Rp 30 triliun.
Salah satu saham yang mengalami penurunan harga adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Pada penutupan bursa Kamis pekan lalu, saham BBCA ditutup pada harga Rp 28.150 (-0,96%) dibandingkan penutupan pekan sebelumnya (2/5).
Penurunan dalam juga dialami oleh saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Pada penutupan bursa Kamis pekan lalu (9/5), harga saham bank pelat merah ini sudah menyentuh Rp 8.575 per saham. Dibandingkan pekan sebelumnya (2/5), harga saham emiten bank berlogo 46 itu justru menyusut sekitar 9%.
Laba bank bisa tergerus
Betul, saham-saham bank besar di Tanah Air kembali menjadi sasaran jual investor lantaran tersenggol sejumlah sentimen miring. Menurut Analis Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma, ada dua faktor eksternal yang menyebabkan saham emiten bank melorot.
Pertama, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 yang disetahunkan (annualized) secara mengejutkan mencapai 3,2%. Capaian itu melampaui ekspektasi pasar. Sebelumnya, konsensus para ekonomi memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 hanya 2,2%.
Angka pertumbuhan AS terbaru itu bahkan melampaui prediksi Bank Sentral AS, The Fed, yang cuma berani menyodorkan angka 2,4%. “Kalau pertumbuhan ekonomi AS bagus, artinya peluang The Fed melakukan pemangkasan bunga jadi kecil,” kata Suria.
Sentimen kedua, kontroversi kebijakan Presiden AS yang berencana mengenakan tarif 25% kepada produk-produk impor dari China. Rencananya, kebijakan itu berlaku pada Jumat (10/5). “Situasi itu membuat para investor asing melepas saham-saham bank besar,” imbuh Suria, Rabu (8/5).
Dari dalam negeri, rencana penerapan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 (tentang instrumen keuangan) yang akan berlaku mulai Januari 2020 ikut memberikan sentimen negatif bagi saham bank.
Suria menguraikan, kebijakan itu akan berdampak terhadap bank-bank yang kini coverage ratio-nya di bawah 100%, umumnya bank-bank kecil. “Meskipun ada bank menengah dan besar yang juga coverage ratio-nya di bawah 100% seperti Bank BTN dan Bukopin,” katanya.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Indef, menilai, penerapan PSAK 71 akan menggerus modal bank. Ruang penyaluran kredit kian sempit. Hingga akhir tahun ini, CAR bank bisa turun jadi 21%-22% dari posisi per Februari 2019 sebesar 23,4% (data Bank Indonesia/BI).
Bhima juga bilang, antengnya suku bunga acuan BI membuat kinerja bank sedikit melambat tahun ini. Di sisi lain, efek bunga yang tinggi juga menurunkan kualitas debitur dan menaikkan risiko kredit macet. “Ini sudah terlihat dari undisbursed loan bank yang konsisten naik ke Rp 1.500 triliun sejak tahun lalu,” kata dia.
Managing Director Head of Equity Capital Market Samuel International Harry Su memprediksi, sektor perbankan masih akan tertekan di tahun ini. Makroekonomi Indonesia masih tertekan oleh melebarnya current account deficit (CAD) dan rendahnya harga komoditi ekspor Indonesia.
Namun, secara keseluruhan, kinerja sektor perbankan tahun ini akan berjalan sejalan dengan kondisi makroekonomi Indonesia. “Adapun faktor yang mempengaruhi sektor bank ke depannya adalah kondisi CAD, harga komoditi dan suku bunga acuan,” jelas Harry.
Nah, seperti apa langkah bank mengantisipasi berbagai tantangan bisnis di sepanjang tahun ini? Dan, bagaimana pula prospek sahamnya ke depan? Simak ulasan mengenai empat emiten bank yang berhasil dirangkum Tabloid KONTAN berikut ini:
BBTN
Bank pelat merah yang fokus bisnisnya menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) ini mencetak kinerja positif pada Kuartal I 2019. Pada periode ini, BBTN berhasil mengantongi laba bersih Rp 723 miliar atau tumbuh 5,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sayang, jika dibanding kuartal I-2018, pertumbuhan laba bersih BBTN di awal tahun ini melambat. Sebab, pada tiga bulan pertama tahun lalu, laba bersih BTN masih berhasil tumbuh sekitar 15,13%.
Menurut Suria Dharma, salah satu yang faktor yang menghantui kinerja BBTN ialah rencana penerapan PSAK 71. Hal ini berkaca dari merosotnya laba BBTN sejalan dengan persiapan perseroan menjalankan titah PSAK 71.
Pada 2018, kata Suria, BBTN telah menaikkan coverage ratio 468 basis poin (bps) secara tahunan dari dari 44,55% jadi 49,2%. Naiknya CKPN ini membuat biaya provisi BBTN melonjak. Dampaknya, laba bersih BBTN di 2018 turun 7,3% menjadi Rp 2,8 triliun.
Menurut Suria, penurunan laba bersih BBTN itu disebabkan biaya provisi pada kuartal IV 2018 naik 88,8% secara kuartalan menjadi Rp 847,7 miliar. Biaya provisi sebesar itu menyamai total provisi pada sembilan bulan pertama di 2018 sebesar Rp 866,7 miliar.
Mahelan Prabantarikso, Direktur Stragis, Resiko, dan Kepatuhan BBTN PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) mengakui, persiapan BBTN atas implementasi kebijakan PSAK 71 sedikit berdampak pada proyeksi laba bersih.
Mahelan bilang, penerapan PSAK 71 akan mendorong bank memenuhi coverage ratio. Pada tahun ini BTN akan menaikkan CPKN bertahap. Sampai Maret 2019, CPKN BBTN berada di level 45%. “Hingga akhir 2019 kami proyeksikan CPKN BTN akan naik lagi hingga di kisaran 70%,” beber Mahelan.
William Surya Wijaya, Direktur Indosurya Bersinar Sekuritas menimpali, lesunya kinerja BBTN di 2018 dipicu sektor properti yang belum menguat. Maklum, lebih dari 90% segmen kredit BBTN terdiri dari KPR. William memprediksi, sektor properti di tahun ini masih akan melambat.
Dus, ia memproyeksikan kinerja BBTN tahun ini cenderung stagnan. “Industri properti melambat, jadi akan mempengaruhi kinerja BBTN yang bisa ikut menurun,” kata William kepada Danielisa Putriadita dari KONTAN.
Dengan kondisi seperti itu, Suria memproyeksi, laba bersih BBTN hingga akhir tahun ini berpotensi turun sekitar 20,4% secara tahunan menjadi sekitar Rp 2,23 triliun.
Meski begitu, Suria tetap merekomendasikan buy untuk saham BBTN dengan target harga di kisaran Rp 2.850.
Sementara itu William cenderung merekomendasikan hold untuk saham BBTN. Pada penutupan Kamis (8/5), saham BBTN ditutup Rp 2.350, melemah 5,6% dibandingkan penutupan pekan sebelumnya (2/5) Rp 2.490.
BBKP
Analis menilai, PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) akan menjadi salah satu bank yang juga akan terpapar dampak penerapan PSAK 71. Alasannya, saat ini angka kredit bermasalah BBKP masih sangat tinggi.
Pada April lalu, non-performing loan (NPL) gross BBKP masih tercatat di angka 6,67% atau turun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,54%. Sementara itu, NPL nett BBKP pada 2018 tercatat 4,75% atau melandai dibandingkan tahun 2017 sebesar 6,37%.
Suria mengakui, laju NPL BBKP pada 2018 membaik dari tahun sebelumnya. Hanya saja, nilai NPL gross BBKP itu masih di atas NPL gross industri yang tercatat cuma 2,51% pada tiga bulan pertama tahun ini.
Alhasil, BBKP harus terus meningkatkan coverage ratio untuk menekan laju NPL. Saat ini, kata Suria, coverage ratio BBKP masih di bawah 50%. Angka ini masih jauh dari batas aman untuk menyesuaikan ketentuan PSAK.
Persoalannya, kata Suria, upaya BBKP untuk menggenjot coverage ratio sangat rentan menggerus laba perseroan. Apalagi, rasio kecukupan modal atawa CAR BBKP juga masih rendah, yakni di kisaran 13%.
Dengan CAR yang cupet, sulit bagi BBKP untuk melakukan ekspansi bisnis di tahun ini. “Makanya, pada tahun depan, BBKP berencana menggelar right issue untuk meningkatkan permodalan,” kata dia.
Pada April lalu, manajemen Bukopin pernah menyebutkan akan menerbitkan surat utang maksimal Rp 3 triliun untuk memenuhi kebutuhan modal.
Sementara itu, dalam risetnya yang diterbitkan pada 2 April 2019, analis PT Deutsche Verdhana Sekuritas, James Nugroho menyebutkan, risiko utama yang bakal dihadapi BBKP pada tahun ini adalah sentimen ekonomi makro. Di antaranya, adanya potensi penurunan suku bunga acuan BI di tahun ini.
Situasi itu akan menimbulkan sentimen lanjutan terhadap penurunan atau kenaikan suku bunga simpanan, yang bisa ikut mempengaruhi performa kinerja BBKP. Salah satunya terkait penyaluran kredit. James merekomendasikan hold untuk saham BBKP.
Sedangkan Suria memberikan rekomendasi buy. Alasannya sama seperti BBTN yang valuasi sahamnya masih rendah. Menurut Suria, valuasi saham BBKP di bawah 1X PBV.
Merujuk data RTI, harga saham BBKP pada penutupan bursa Kamis (9/5) Rp 282 per saham. Dibandingkan Jumat (3/5), saham BBKP terperosok dalam sekitar 7,2%.
BBCA
Sempat kolaps pada tahun 1998 akibat badai krisis moneter menghantam perekonomian Indonesia, kini 21 tahun berselang, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) telah menjelma menjadi bank swasta terbesar di tanah air dengan total aset mencapai Rp 808,63 triliun. Dengan aset segede gajah itu, BCA pun mampu menjaga eksistensinya di industri perbankan nasional.
Paling tidak, hal itu tercermin dari performa kinerja emiten bank bersandi BBCA ini yang terus memuaskan para stakeholder-nya. Pada Mei ini, misalnya, BBCA bakal membagikan dividen Rp 340 per saham, yang diambil dari pos laba bersih di sepanjang tahun lalu.
Dari pemaparan manajemen perseroan, total dividen yang dibagikan BBCA itu setara dengan 32,4% dari laba bersih tahun lalu Rp 25,9 triliun. Dengan begitu, nilai total dividen yang akan ditebar Rp 8,39 triliun. Dibandingkan tahun 2018, besaran dividen yang akan ditebar BCA pada tahun ini naik 33,3%.
Harry Su, Managing Director Head of Equity Capital Market Samuel International menganalisa, kenaikan dividen BBCA tahun ini salah satunya dipicu pertumbuhan laba sebesar 10,9% dibandingkan periode 2017 sebesar Rp 23,3 triliun.
Moncernya kinerja BBCA juga terlihat di kuartal I-2019. Pada periode ini, BBCA mencatat laba bersih Rp 6,1 triliun, naik 10,1% dari periode serupa tahun 2018 sebesar Rp 5,5 triliun. “Rendahnya cost of fund dan likuiditas yang sehat merupakan kunci pertumbuhan BBCA di 2018. Di kuartal I-2019 faktornya masih sama dengan 2018,” ungkap Harry.
Namun, bukan berarti BBCA bisa terhindar dari sentimen negatif. Menurut Harry, rencana penerapan PSAK 71 juga berpotensi menggerus CAR BBCA. “CAR BCA akan tergerus sekitar 10 bps,” imbuh Harry.
Senada, Suria Dharma juga memproyeksi, kebijakan PSAK 71 berpotensi menurunkan CAR BBCA di tahun ini berkisar 1%-2%. Kecilnya potensi penurunan CAR BBCA disebabkan coverage ratio emiten ini yang sudah tembus 171,4%. “Jadi pengaruh ke CAR juga kecil,” ujar Suria. Catatan saja, pada kuartal I-2019, rasio kecukupan modal BBCA berada di level 24,5%.
Hingga akhir tahun ini, Suria memproyeksikan Bank BCA masih akan meraih pertumbuhan laba bersih hingga 12,4% ketimbang 2018. Lalu, NPL BBCA akan terjaga pada level 1,5% dan NIM bisa tumbuh 6,4% secara tahunan.
Menurut Suria, pertumbuhan kinerja BBCA di tahun ini akan terbantu proyeksi penurunan BI rate yang diperkirakan dilakukan usai Lebaran mendatang. “Kami proyeksi BI menurunkan rate. Penurunan rate BI bisa meningkatkan NIM BBCA,” kata Suria.
Akan tetapi, Suria merekomendasikan hold saham BBCA karena valuasi harganya sudah premium (4 kali PBV).
Pada penutupan Kamis (9/5), saham BBCA ditutup di Rp 28.150 atau turun sekitar 0,96% dibandingkan penutupan bursa pekan sebelumnya (2/5) di level Rp 28.425 per saham.
BBNI
Tak berbeda dengan emiten bank lainnya, rencana penerapan PSAK 71 juga menjadi salah satu rintangan BBNI untuk memoles kinerjanya di tahun ini.
Berdasarkan perhitungan awal BNI, posisi CAR perseroan akan menyusut sekitar 20 bps sampai 40 bps akibat penerapan PSAK 71. Dengan memakai perkiraan dampak itu, manajemen memprediksi, CAR BBNI akan berada pada kisaran 17%–19%
di tahun ini.
Celakanya, jika BBNI tidak meraih tambahan modal baru, maka posisi CAR perseroan pada tahun ini akan berada di atas angka 14%. Itu sebabnya, BNI telah mengambil langkah antisipasi untuk mempercantik kinerjanya pada tahun ini. Antara lain, memilah sektor ekonomi yang tepat untuk menjaga NPL tetap rendah.
Catatan saja, di kuartal I-2019 NPL BBNI terjaga di level 1,9%. Pada periode itu, BBNI berhasil mengantongi laba bersih
Rp 4,08, tumbuh 11,5% dari periode yang sama di 2018 sebesar Rp 3,66 triliun. Lalu, rasio pencadangan BBNI menjadi 153,1% di kuartal I-2019, lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebesar 148%.
Suria merekomendasikan buy saham BBNI dengan target harga Rp 10.900. Suria melihat masih ada prospek pertumbuhan kinerja BBNI di tahun ini.
Dia memproyeksi, laba bersih BBNI hingga akhir 2019 bisa tumbuh 19,1%, NPL di kisaran 1,9% dan NIM tumbuh 5,1% dibandingkan periode serupa di 2018. “Secara valuasi, saham BBNI menarik karena saat ini diperdagangkan pada sekitar 1,4 kali PBV 19F,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News