Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi yang dilakukan di industri asuransi jiwa seringkali menjadi sorotan. Terlebih, melihat kasus di Asuransi Jiwasraya dan Asabri yang merugi karena investasi. Tak mau kejadian seperti itu terulang, Anggota Dewan Komisioner OJK di sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Ogi Prastomiyono mengatakan OJK berencana untuk memperketat aturan tata kelola investasi industri perasuransian.
“Karena masalah yang dihadapi, investasi asuransi itu tidak menghasilkan yang baik atau bahkan nilainya jauh dari yang ditetapkan,” ujar Ogi dalam konferensi pers, Rabu (20/7).
Hanya saja, Ogi belum membeberkan rencana detail terkait pengetatan investasi tersebut. KONTAN telah menghubungi Ogi, namun belum ada jawaban sampai berita ini diturunkan.
Sejatinya, pengelolaan investasi di perusahaan asuransi telah diatur dalam POJK no 71 tahun 2016. Dalam beleid tersebut telah diatur terkait aset-aset apa saja yang boleh dalam menempatkan investasi beserta maksimal besarannya.
Baca Juga: Penjualan Asuransi Perjalanan Allianz Naik Lebih dari 200%, Ini Faktor Pendorongnya
Di industri asuransi jiwa, data OJK per Mei 2022 mencatat aset investasinya banyak ditempatkan di reksadana senilai Rp 148,32 triliun atau setara dengan 28,18% dari total portofolio yang mencapai Rp 526,36 triliun.
Selanjutnya, ada investasi di saham yang nilainya mencapai Rp 143,63 triliun dan surat berharga negara yang nilainya mencapai Rp 116,5 triliun. Secara berurutan, masing-masing berkontribusi 27,2% dan 22,1% dari total portofolio.
Dari sisi pemain sendiri, Direktur BRI Life Iwan Pasila mengatakan, pihaknya mengelola investasi sudah sesuai berdasarkan kebijakan investasi yang disusun dengan mempertimbangkan karakteristik dan durasi kewajiban, kualitas assets, serta kebutuhan likuiditas.
“Mengingat karakteristik kewajiban yang umumnya untuk portofolio risiko, maka kami cukup banyak investasi di SUN dan sukuk, beberapa obligasi korporasi dengan minimum investment grade, dan short-term untuk menjaga likuiditas,” ujar Iwan kepada KONTAN, Kamis (21/7).
Sampai akhir semester I-2022, total investasi BRI Life sudah mencapai Rp 15.7 triliun atau tumbuh sekitar 16% secara tahunan. Sekitar 55% dari portofolio perusahaan ditempatkan di SUN.
Saat ini, Iwan bilang pihaknya akan terus memantau pergerakan market value dari SUN dan obligasi korporasi. Untuk penempatan baru, pihaknya mengutamakan di SUN dengan tenor yang lebih pendek untuk mitigasi fluktuasi market value.
Sementara itu, Direktur Keuangan BNI Life Eben Eser Nainggolan bilang dalam berinvestasi pihaknya memilih untuk berinvestasi ke aset–aset yang cenderung aman serta memiliki fundamental baik untuk menghindari risiko dari gejolak perekonomian global.
“Tetap menjaga asset liability matching, mencari peluang di tengah pasar yang volatile serta terus memonitor kondisi makro ekonomi,” ujarnya.
Baca Juga: Ini Harapan AAJI Terhadap Komisioner OJK yang akan Dilantik Rabu (20/7)
Eben bilang saat ini aset investasi terbesar BNI Life terletak pada reksa dana sekitar 45,06% dari total portofolio dan sebagian besar merupakan reksa dana pendapatan tetap.
Ia bilang pemilihan pada reksadana pendapatan tetap karena pendapatan yang didapatkan relatif lebih stabil dibanding pada pasar saham, namun masih memberikan potensi keuntungan yang lebih baik dibanding penempatan pada pasar uang.
“Per Juni 2022, total aset investasi adalah sebesar Rp 20,5 triliun atau naik sebesar 6,2% secara yoy,” ujar Eben.
Belum lama ini, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, sejatinya regulasi investasi yang saat ini sudah sangat baik. Namun, ia menyadari bahwa regulasi yang baik pun perlu diimbangi dengan implementasi yang disiplin.
“Kalau kita mengacu pada beberapa kejadian, kadang-kadang memang ada satu dua anggota kami yang mungkin tidak sepenuhnya menjalani ketentuan regulasi itu. Dan kami terus ingatkan ke anggota untuk patuh pada regulasi,” ujar Budi.
Budi menambahkan, dalam berinvestasi, perusahaan selalu menyesuaikan dengan produk asuransi yang dijual. Ia mencontohkan dalam produk proteksi kesehatan yang klaimnya bisa kapanpun, perlu aset yang likuid seperti kas di bank atau deposito berjangka.
“Itulah kenapa selalu ada perhitungan, sekian di obligasi, sekian di pasar modal, dan sebagainya,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News