kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kendala-kendala yang harus dihadapi OJK


Rabu, 02 Oktober 2013 / 17:06 WIB
Kendala-kendala yang harus dihadapi OJK
ILUSTRASI. Jeruk Bali Kaya Vitamin C, Inilah Manfaat Lainnya untuk Tubuh


Reporter: Umar Idris, Edy Can, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Tugas mulia Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas seluruh industri jasa keuangan di negeri ini. Di bawah satu atap, harapannya pengawasan tersebut bakal lebih maksimal. Maklum, seiring perkembangan industri keuangan saat ini, masalah yang menimpa satu industri keuangan bisa berdampak sistemik dan merembet ke industri keuangan yang lain.

Tak heran, lembaga seperti OJK ini juga bisa kita temukan di negara lain. Toh, meski mengusung mandat mulia, tak semua negara setia menegakkan lembaga pengawas keuangan satu atap tersebut. Sebut saja Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat (AS) yang sudah menutup otoritas super itu. Sementara beberapa negara yang masih mempertahankan lembaga ini adalah Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Singapura, Swiss dan Korea Selatan.

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan setiap lembaga pengawas keuangan memiliki model sendiri. Sementara model yang diterapkan OJK lebih mirip dengan lembaga pengawas keuangan di Inggris dan Jepang. Kedua negara ini memisahkan peran lembaga pengawas keuangan dan bank sentral.

Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih berpendapat, tidak ada satu sistem lembaga pengawas keuangan yang ideal. Karena itu, “Sebagai awalan, yang bisa dilakukan OJK Indonesia adalah mencontoh saja dulu OJK lain yang sudah berjalan,” katanya.

Belajar dari negara lain

Ketua Dewan Komisioner OJK Mualiaman D. Hadad pernah mengatakan sistem OJK di tanah air mengadopsi dari sejumlah lembaga OJK negara lain. Termasuk mengadopsi dari lembaga yang akhirnya telah dibubarkan. Tiga negara yang menjadi bahan acuan belajar OJK adalah Inggris, Australia, dan Korea Selatan.

Sekadar informasi, lembaga pengawas keuangan di Inggris bernama Financial Service Authority (FSA) dan sudah dibubarkan sejak Juni 2010. Pasca FSA bubar, Inggris membentuk Financial Policy Committee (FPC) dan Monetary Policy Commitee (MPC) untuk mempertahankan independensi sistem pengawasannya.

Sementara lembaga pengawas keuangan di Australia bernama The Australian Prudential Regulation Authority (APRA). APRA yang dibentuk tahun 1998 ini mengambil alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC).

Adapun lembaga pengawas di Korea Selatan bernama Financial Services Commision (FSC). Ketika awal berdiri pada tahun 1999, lembaga ini bernama Financial Supervisory Commission. Tahun 2008, lembaga ini berganti nama lantaran melakukan perubahan kebijakan.

Nah, pelajaran apa yang bisa dipetik dari lembaga-lembaga pengawas keuangan tersebut? Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi bahan pelajaran.

Restrukturisasi organisasi

Pada awal berdiri, APRA sempat terancam gagal karena kendala restrukturisasi organisasi. APRA menyerap sumberdaya manusia (SDM) dari sembilan dinas pemerintahan di Australia. Proses penyerapan SDM dari berbagai dinas ternyata bukan perkara mudah.

Penyamaan persepsi kerja ternyata menjadi kendala meski APRA sudah menyusun sistem kerja. Tak ayal, target restrukturisasi organisasi yang semula dipatok kurang dari tiga tahun, malah berlarut-larut.

Biaya operasional

Sektor pengawasan yang banyak dan wilayah yang luas menuntut konsekuensi berupa biaya operasional yang sangat besar. APRA misalnya, harus mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Termasuk mengawasi 291 dana pensiun.

Tahun 2009, anggaran yang dibutuhkan APRA untuk pengawasan sekitar AUD 103,2 juta. Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembiayaan SDM yang menyerap hingga 71% dari total anggaran tersebut.

Koordinasi

Dibandingkan dua kendala di atas, koordinasi sepertinya menjadi kendala utama yang dialami lembaga pengawas keuangan. Penutupan FSA di Inggris terjadi akibat bank sentral di negeri itu, Bank of England (BoE), tak pernah mendapat informasi memadai tentang kondisi sistem keuangan dari FSA. Alhasil, ketika sebuah lembaga keuangan bernama Northern Rock bangkrut, lembaga ini terpaksa di-bailout oleh BoE. Pasca kejadian itu, FSA dibubarkan.

Lain cerita dengan FSC. Lembaga pengawas keuangan Korea Selatan ini malah memisahkan posisi Chairman Securities and Futures Commission (SFC) dan Gubernur Financial Supervisory Services (FSS) pada 2008. SFC dan FSS adalah dua lembaga di bawah FSC. Pemisahan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan membedakan secara jelas antara pembuatan kebijakan dan pengawasan pasar keuangan.

Menurut Lana, fungsi koordinasi menjadi penentu utama keberhasilan lembaga pengawas keuangan. “Supaya tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan dan saling lempar tanggung jawab ketika muncul masalah,” katanya.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 1 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×