kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Masih banyak fintech belum dapat izin penuh dari OJK


Selasa, 07 Agustus 2018 / 20:27 WIB
Masih banyak fintech belum dapat izin penuh dari OJK
ILUSTRASI. Aplikasi Go-Pay


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Banyaknya syarat yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara financial technology (fintech) tampaknya membuat status perizinan fintech lending kian pelik. 

Meski banyak fintech yang sudah berusaha memenuhi syarat untuk mendapat izin penuh (full licensed), sejak diterbitkannya POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dari 63 fintech yang terdaftar, baru 1 fintechyang memperoleh izin.

Wajar, jika perusahaan 62 fintech lain yang sudah terdafar dan berusaha memenuhi aturan merasa ketar-ketir. Pasalnya, status mereka menjadi tidak jelas, berstatus terdaftar tapi hanya menggengam masa izin temporer selama satu tahun. Untuk mendapatkan izin permanen, mereka harus mengurus perizinan resmi paling lambat setahun setelah status terdaftarnya diperoleh.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, semakin minimnya fintech berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal. Sebab, fintech tak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Satgas Waspada Investasi sendiri sejauh ini sudah menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending. Fintech tersebut meski sudah beroperasi, tetapi tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produknya, sehingga berpotensi merugikan masyarakat.

“Potential lost-nya kalau jumlah fintech kalau berizinnya sedikit pastinya nanti ada risiko yang ditanggung masyarakat. Kayak kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah dong memberikan sanksi atau teguran yang sifatnya antisipatif,” ujar Bhima.

Makin banyaknya fintech yang dianggap liar dan tidak termasuk dalam pengawasan OJK, berpotesi memicu kerugian besar, mulai dari pidana penipuan pencucian uang, transaski ilegal, hingga tidak adanya perlindungan soal data.

Kerugian lainnya, fungsi fintech yang sejatinya berperan sebagai penyalur dana ke masyarakat, khususnya yang unbankable menjadi tak optimal. Dengan sedikitnya fintech yang berizin, potensi untuk menyalurkan kredit ke masyarakat juga jadi berkurang.

Mengambil data OJK, penyaluran dana dari fintech ke masyarakat hingga Juni 2018 telah mencapai Rp 7,64 triliun. Jumlah transaksinya sendiri telah mencapai 3,16 juta kali yang tersalur ke 1,09 juta nasabah.

Bhima menyadari untuk memperoleh status izin sebagai fintech resmi memang sangat menyulitkan. Tidak hanya melulu harus memenuhi prasyarat dari OJK, penyelenggara pun akan berhadapan setidaknya dengan 14 kementerian dan lembaga.

Proses yang kompleks itu pada akhirnya membuat biaya transaksi untuk memperoleh izin membengkak dan ujungnya bisa menimbulkan keengganan pula dari penyelenggara fintech untuk mengejar status berizinnya.

Satu pintu

Untuk itu, Bhima menyarankan, OJK membuat proses perizinan satu pintu sehingga semua syarat yang mesti dipenuhi penyelenggara cukup diurus di OJK. Cara ini juga akan efektif untuk menghindari adanya perizinan yang tumpang-tindih.

“Jadi sekarang OJK harus punya perizinan satu pintu, harus punya insentif juga. Jadi semua biaya perizinan itu digratiskan. Kalau misalnya nanti masih juga susah, OJK harus jemput bola mendatangi fintech-fintech,” tukas ekonom ini.

Ia meyakini, konsep ini bisa dilakukan. Pasalnya, investasi-investasi dengan izin satu pintu untuk berbagai sektor sudah diterapkan oleh BKPM.  OJK pun mesti menjadi kepalanya dikarenakan sebagian besar fintech yang ada di Indonesia merupakan jenis fintech lending.

Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, selain aturan yang tertuang dalam POJK 77 Tahun 2016, setidaknya ada 25 standar operasional prosedur (SOP) lain yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara fintech lending untuk bisa mendapatkan izin resmi yang bersifat permanen.

Di samping memang ada aturan-aturan lain yang mesti dipenuhi penyelenggara di kementerian atau lembaga lain. Misalnya untuk masalah platform, mereka mesti mendapatkan izin dari Kementerian Komunikas dan Informasi.

"Jadi ketika kami menanyakan izin, ada dua kelompok besar, penuhi UU ITE dan SOP yang 25. Memang harus berat. Karena, hak yang akan diperoleh mereka ini sifatnya permanen,” kata dia.

Dengan sulitnya perizinan, diharapkan nanti akan tersaring penyelenggara-penyelenggara fintech yang kapabilitasnya teruji sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat. 

Menurutnya, yang ingin OJK cegah adalah jangan sampai ada ketidakseragaman kualitas antar fintech berizin penuh nantinya.

Namun Hendrikus percaya, soal tidak terlalu banyaknya fintech yang berizin tidak akan merugikan masyarakat. Ini justru bisa menguntungkan karena menghindari masyarakat dari risiko yang bisa ditimbulkan fintech yang tidak benar.

Saat ini, setidaknya ada 14 penyelenggara fintech terdaftar yang tengah mengurus izinnya. Ia menegaskan, prinsip pembinaan tetap dikedepankan bagi mereka.

"Seandainya terdapat kekurangan dari sisi penyelenggara, maka kami akan memberikan arahan untuk untuk meperbaiki. Tapi, tidak lebih dari enam bulan sejak awal mereka mengajukan permohonan,” kata Hendrikus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×