Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efek perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dinilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih bakal menyisakan beban bagi perbankan. Walhasil, agar stabilitas sistem jasa keuangan tetap terjaga, regulator pun memutuskan untuk memperpanjang masa pemberian relaksasi restrukturisasi kredit menjadi Maret 2022 dari sebelumnya berakhir di Maret 2021.
Hal itu tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menjelaskan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang sudah dikeluarkan OJK sejak Maret tahun ini terbukti bisa menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dari tekanan ekonomi akibat dampak pandemi Covid–19.
Sementara itu Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan, dalam POJK 11 perpanjangan ini pihaknya telah mendapatkan laporan dari beberapa bank, terkait dengan ptensi debitur yang akan gagal bayar.
Untuk itu, saat ini trennya di perbankan adalah membentuk pencadangan agar tren non performing loan (NPL) tidak melonjak saat POJK 11 berahir di Maret 2022. "Dalam POJK 11 perpanjangan ini kami masukan beberapa kebijakan baru, terutama dari tata kelola agar setiap bank melakukan self assessment debiturnya, termasuk pembentukan CKPN," ujar Heru belum lama ini.
Beberapa bankir yang dihubungi Kontan.co.id pun menyambut baik kebijakan OJK untuk memperpanjang relaksasi. Alasannya, menurut Sekretaris Perusahaan Rully Setiawan PT Bank Mandiri Tbk di tengah ketidakpastian tren permintaan restrukturisasi memang masih ada walaupun masih kecil.
"Menurut kami, kebijakan OJK ini positif untuk membantu pelaku usaha, khususnya UMKM untuk dapat menjaga keberlangsungan usaha di tengah ketidakpastian perekonomian ke depan," tuturnya, Minggu (8/11).
Baca Juga: Bank ramai-ramai gelar aksi korporasi jelang akhir tahun, ini kata analis
Catatan Bank Mandiri, saat ini per Oktober 2020 perseroan sudah menyetujui restrukturisasi lebih dari 530 debitur dengan nilai portofolio menembus Rp 119 triliun. "Saat ini kami masih menerima permohonan relaksasi dari debitur-debitur terdampak Covid-19," imbuhnya.
Senada, Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Vera Eve Lim juga menilai sejatinya kebijakan itu memang dilakukan untuk meredam dampak perlambatan ekonomi akibat Covid-19 di sektor perbankan. Nah, dengan diperpanjangnya relaksasi dipastikan bakal membantu bank tetap melaporkan kredit relaksasi pada status lancar. Dengan kata lain, hal ini bakal memberi waktu bagi bank untuk melakukan upaya perbaikan kualitas, termasuk memberi ruang agar kemampuan membayar debitur untuk pulih.
"Program relaksasi dari regulator membantu perankan dan nasabah dalam melewati masa yang sulit untuk mencapai pemulihan," terangnya. Di samping itu, untuk mengantisipasi lonjakan NPL, bank swasta nomor wahid ini juga sudah menyiapkan pencadangan sejalan dengan arahan OJK.
Menurut Vera, BCA sudah membukukan biaya pencadangan sebesar Rp 9,1 triliun meningkat sebesar Rp 5,6 triliun atau naik 160,6% secara year on year (yoy) sampai kuartal III 2020. Angka itu menurutnya sejalan dengan peningkatan risiko penurunan kualitas kredit ke depan.
Sebagai informasi saja, sampai dengan pertengahan Oktober 2020, BCA sudah memproses Rp 107,9 triliun pengajuan restrukturisasi kredit atau sekitar 19% dari total kredit perseroan. Keringanan itu diberikan ke lebih dari 90.000 nasabah di seluruh segmen. Jumlah itu tercatat meningkat, sebab per akhir September 2020 lalu total kredit BCA yang direstrukturisasi adalah sebesar Rp 90,7 triliun atau 16% dari total kredit.
Setali tiga uang, Direktur Utama PT Bank Panin Tbk Herwidayatmo menjelaskan sampai dengan saat ini pihaknya sudah memberikan restrukturisasi ke debitur terdampak Covid-19 sekitar 24% dari total kredit. Menurutnya, ke depan penambahan atau pengajuan restrukturisasi di Bank Panin tidak akan bertambah.
Sebab, beberapa debitur restrukturisasi saat ini sudah mulai menunjukkan pemulihan bisnis. Sementara itu, perpanjangan kebijakan restrukturisasi oleh OJK menurutnya adalah salah satu langkah preventif regulator. "Saya kira OJK memutuskan kebijakan setelah melihat data Industri Jasa Keuangan secara keseluruhan dan sepanjang beberapa bulan pandemi COVID-19 berada di Indonesia," katanya.
Selanjutnya: Bos Maybank bicara soal pengembalian uang nasabah yang hilang Rp 22 miliar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News