Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri asuransi syariah di Indonesia terus berkembang, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam memperluas jangkauan ke pasar global, khususnya negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Menurut Anatomi Muliawan, Pengurus Bidang Kanal Distribusi Jiwa Syariah, Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperkuat ekosistem asuransi syariah di Indonesia.
“Saat ini, kontribusi bruto asuransi syariah terhadap industri asuransi nasional masih berada di angka 9,63%, dengan aset yang mencapai 5,37% dibandingkan asuransi konvensional. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk pertumbuhan,” kata dia dalam acara Launcing Policy Brief FEB UI, Senin (17/3).
Dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan ekosistem halal yang terus berkembang, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan asuransi syariah.
“Jumlah nasabah bank syariah terus meningkat dari 32,17 juta di 2019 menjadi 54,20 juta di 2024. Ini menunjukkan peningkatan minat masyarakat terhadap layanan keuangan berbasis syariah, termasuk asuransi,” jelas Anatomi.
Baca Juga: Asippindo Tekankan Kolaborasi untuk Majukan Industri Penjaminan Syariah
Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi sebelum dapat bersaing di tingkat global. Anatomi menyebutkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan prinsip asuransi syariah masih terbatas.
Selain itu, persaingan dengan asuransi konvensional serta keterbatasan produk, layanan, dan sumber daya manusia menjadi kendala utama.
“Kami juga menghadapi tantangan dalam pengembangan produk baru yang harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, sementara interpretasi regulasi sering kali membutuhkan penyesuaian lebih lanjut,” tambahnya.
Untuk memperkuat industri asuransi syariah, AASI mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah, serta inovasi produk yang dapat menarik lebih banyak nasabah. Dukungan dari regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga menjadi faktor penting dalam membangun ekosistem yang lebih kuat.
“OJK telah menerbitkan berbagai regulasi untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi industri. Selain itu, sentralisasi data fraud dan perbaikan tata kelola agen juga menjadi fokus agar industri ini semakin terpercaya dan kompetitif,” ungkap Anatomi.
Dengan strategi yang tepat dan dukungan regulasi yang memadai, industri asuransi syariah di Indonesia diharapkan mampu menembus pasar OECD dan bersaing di tingkat global.
“Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi pemimpin dalam industri asuransi syariah dunia. Kini, tantangannya adalah bagaimana kita mengoptimalkan peluang tersebut,” tutup Anatomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News