Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menegaskan, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 2008 sungguh nyata. Sehingga Bank Indonesia (BI) memberikan kucuran likuiditas pada tiga bank BUMN besar di tanah air.
Menurut Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, jika tidak krisis pada saat itu, BI tak mungkin menambah likuditas sebesar Rp 15 triliun untuk tiga bank BUMN, yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat (BRI).
"Itu yang terjadi sehingga pemerintah harus menempatkan Rp 15 triliun untuk tiga bank BUMN. Kalau tidak ada apa-apa, mengapa BI menempatkan dana itu," ujar Sigit Pramono, dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Jumat (28/3).
Krisis berawal karena adanya guncangan ekonomi, saat itu episentrumnya ada di Amerika Serikat. Di tanah air, likuiditas perbankan semakin ketat dan hal tersebut dikhawatirkan memicu krisis. Bagi perbankan masalah likuiditas lebih penting dibandingkan ukuran kredit macet atau non performing loan (NPL). "Likuiditas itu ibaratnya seperti serangan jantung. Tetapi NPL itu seperti kanker yang menyerang perlahan," ujar Sigit.
Sebagai praktisi perbankan, Sigit melihat tindakan penyelamatan bank yang dilakukan pemerintah saat itu sudah benar. Karena tidak menerapkan program blanket guarantee, pemerintah kemudian menaikkan batas simpanan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar pada 2008 untuk menjaga agar nasabah tidak panik dan menarik dananya.
Kinerja perbankan secara umum pada 2008 memang membaik, tetapi tidak semua bank memiliki kinerja bagus. "Adanya isu penutupan bank pada saat suasana likuiditas yang ketat akan berbahaya," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News