Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menyiapkan kebijakan makroprudensial akomodatif dalam mendorong kredit dan pembiayaan. Sejalan dengan optimis fungsi intermediasi tahun depan bisa lebih tinggi dibandingkan kenaikan kredit perbankan di 2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan berkisar 10% hingga 12% secara tahunan alias year on year (YoY) di 2023. Target itu lebih tinggi dari target kredit perbankan tahun ini 9% hingga 11% YoY.
“BI melanjutkan implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit maupun pembiayaan perbankan kepada dunia usaha. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan, pertama rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%,” ujar Perry secara virtual pada Kamis (3/11).
Kedua, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84% hingga 94%. Ketiga rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6% dengan fleksibilitas repo sebesar 6%, dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5%.
Baca Juga: LPS Telah Menjamin 494,39 Juta Rekening Nasabah Perbankan hingga September 2022
“Selain itu, BI juga melanjutkan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) maupun Financing to Value (FTV) untuk Kredit maupun Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti. Baik rumah tapak, rumah susun, serta ruko atau rukan,” tambahnya.
Namun relaksasi LTV maupun FTV ini hanya berlaku bagi bank yang memenuhi kriteria rasio kualitas kredit maupun pembiayaan non performing loan (NPL) atau non performing financing (NPF) tertentu. Ini guna mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023.
“Serta melanjutkan pelonggaran ketentuan uang muka kredit maupun pembiayaan kendaraan bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru. Ini untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023,” paparnya.
Perry menyatakan proyeksi pertumbuhan kredit 10% hingga 12% per 2023 lantaran suplai dari perbankan dan permintaan dari dunia usaha masih tinggi. Dari faktor supply ada tiga faktor utama pertama, karena likuiditas yang longgar tercermin dari alat likuid per dana pihak ketiga (DPK) masih di atas 27% saat ini.
“Dampak kenaikan suku bunga BI ke suku bunga kredit akan lebih lama karena likuiditas longgar. Jadi bank tidak harus buru-buru menaikkan suku bunga kredit, akan kita jaga kelonggaran ini, ” tambahnya.
Baca Juga: BTN Dorong Milenial Duduki Jabatan Strategis
Kedua, adanya insentif baik dari pemerintah maupun dari regulator yang diberikan kepada perbankan yang salurkan kredit. Insentif kebijakan makroprudensial berupa down payment (DP) 0%. Lalu penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) 1,5% bahkan bisa dinaikkan ke 2% bagi bank yang salurkan kredit ke 42 sektor prioritas termasuk UMKM.
“Ketiga, lending standar. Survei Bi menunjukkan perkreditan BI appetite dan keinginan perbankan masih positif. Dari sisi demand, pertumbuhan ekonomi, konsumsi, ekspor, dan investasi tumbuh. Ini akan tingkatkan permintaan kredit,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News