kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi aturan kepemilikan tunggal terjegal


Sabtu, 21 Juli 2012 / 09:03 WIB
Revisi aturan kepemilikan tunggal terjegal
ILUSTRASI. Webinar ?Dampak Teknologi Terhadap Perkembangan Anak?


Reporter: Roy Franedya | Editor: Edy Can

JAKARTA. Rencana Bank Indonesia (BI) merevisi kebijakan single presence policy (SPP) atau asas kepemilikan tunggal terancam tak terlaksana. Aturan ini akan bertentangan dengan revisi Undang-Undang (UU) Perbankan. Beleid yang rancangan DPR itu malah menegaskan kepemilikan tunggal di bank.

Ganjalan tersebut tercermin dalam 2 pasal RUU Perbankan. Pertama, pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan, setiap orang hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank umum. Kedua, pasal 106 yang mewajibkan setiap pemegang saham pengendali lebih dari satu bank wajib melakukan divestasi paling lambat lima tahun sejak UU Perbankan disahkan.

Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Emir Moeis, mengatakan investor yang memiliki bank lebih dari satu tidak baik. Investor akan berpotensi melakukan monopoli bisnis dan membahayakan sektor keuangan, jika terjadi masalah pada salah satu bank yang dimiliki investor tersebut. "UU Perbankan menegaskan aturan SPP. Jadi bila aturan ini diubah akan bertentangan dengan UU. Kedudukan UU lebih tinggi dari PBI jadi regulator harus turut UU," ujarnya, Jumat (20/7).

BI berencana merevisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/PBI/2006 tentang kepemilikan tunggal. Tujuannya memberikan kesempatan bagi bank-bank besar, yang sebagian sudah memiliki anak usaha bank umum, untuk bisa membeli bank lain tanpa ada kewajiban untuk menggabungkan.

Revisi ini bagian dari tindak lanjut pemberlakuan aturan kepemilikan saham bank. BI ingin bank-bank nasional bisa ikut memiliki bank lokal yang terkena kewajiban divestasi. Tanpa revisi, aturan kepemilikan saham hanya akan dinikmati investor asing. "Bank besar bisa mengarahkan bank yang dibelinya untuk spesialisasi di sektor tertentu. Jadi, mereka tidak perlu terjun langsung, cukup memperbesar anak usahanya saja," ujar Gubernur BI Darmin Nasution, Jumat (20/7).

Berdasarkan catatan BI, saat ini lebih dari 10 bank berpotensi terkena kewajiban divestasi. Mereka memiliki tingkat kesehatan dan tata kelola alias good corporate governance (GCG) di bawah level dua. Jika hingga awal tahun 2014 bank tidak bisa memperbaiki peringkat, pemegang saham lama wajib melepas sebagian kepemilikannya paling lambat 5 tahun.

Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sofyan Basir, menilai positif rencana BI melonggarkan kebijakan SPP. Menurutnya, relaksasi ini memudahkan regulator mengawasi bank. BI atau OJK nanti hanya perlu mengawasi induknya saja. Bagi perekonomian hal ini bagus karena mendorong efisiensi. "Selama ini bank kecil tidak bisa efisien karena harus mengeluarkan biaya untuk TI. Bila induknya bank besar, dia tinggal menggunakan jaringan induknya," ujarnya.

Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), Iqbal Latanro, mengungkapkan hal yang sama. Pelonggaran SPP akan memberikan ruang bagi bank besar memiliki bank kecil. Kesehatan bank kecil ini akan terjaga karena komitmen induknya bisa ditagih bila bank bermasalah. "Tumbuh anorganik salah satu cara berkembang dalam waktu singkat," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×