Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia tercatat memiliki semua faktor pendukung pertumbuhan keuangan syariah karena 13% populasi muslim dunia ada di Indonesia. Namun, perkembangan skala perbankan syariah di Tanah Air masih sangat rendah.
Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) Hurriyah El Islamy mengatakan, berdasarkan data IFSB Islamic Finance Stability Report 2021, skala aset perbankan syariah Indonesia saat ini hanya menduduki urutan ke -20 di dunia, kalah dari negara-negara kecil seperti Oman dan Banglades.
"Perbankan syariah kita belum masuk dalam ke sistemik. Negara yang perbankan syariahnya masuk ke dalam sistemik yang 15 besar. Sehingga, maaf-maaf, kalau terjadi apa-apa dengan perbankan syariah kita, efeknya ke ekonomi tidak sistemik," jelas Hurriyah, awal pekan ini.
Perbankan Syariah Indonesia, kata Hurriyah, sebetulnya telah diprediksi Financial Times bakal mencapai US$ 1,6 triliun pada tahun 2023 jika kecepatan pertumbuhannya sama seperti bank perbankan syariah global secara umum. Namun, aset perbankan syariah kita saat ini masih US$ 46 miliar atau ahnay 2,8% dari target yang seharusnya dicapai tahun 2023.
Baca Juga: Penyaluran Kredit Konsumer Perbankan Tembus Rp 1.736 Triliun pada Juni 2022
Menilik data OJK, per Desember 2021 market share perbankan Syariah masih di kisaran 6,7%. Hal ini tentunya masih memiliki gap yang besar terhadap roadmap Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada 2024 sebesar 20% pangsa pasar dari keseluruhan industri keuangan syariah.
Menurut Hurriyah, ada sejumlah faktor penghambat pengembangan perbankan syariah Indonesia. Tantangan pertama adalah ekosistme perundang-undangan dan sistem yang belum memberikan dukungan optimal untuk perkembangan industri perbankan syariah.
"Kita dalam menjalankan perbankan syariah berdasarkan perundang-undangan. Ibaratnya dalam membuat cake harus menggunakan loyang. Nah, loyang yang kita pakai sekarang dalam mengembangkan perbankan syariah terlalu kaku, tidak memberikan kesempatan optimal kepada perbankan syariah sehingga sebaiknya sudah saatnya direvisi atau direview kembali," jelasnya.
Perbankan syariah muncul karena riba diharamkan. Sementara cara kerja perbankan simpel yakni menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali dengan mengambil margin. Sebagian dari margin diambil sebagai keuntungan dan sisanya dikembalikan kepada deposan.
Sehingga kalau perbankan syariah dipaksa berpola seperti konvensional sementara konsep syariah tidak mengizinkannnya maka akan menjadi rumit bagi mereka.
"Jika undang-undang yang ada tidak bisa mengakomodir itu maka pekerjaan bank syariah akan mutar-mutar sebelum sampai ke nasabah. Mengingat perbankan juga harus mengejar profit maka pada akhirnya biaya yang dikenakan harus lebih mahal karena biaya bensin mutar-mutar tadi lebih mahal. Ini yang membuat perbankan syariah kita masih tidak kemana-mana sejak undang-undang perbankan syariah terbit tahun 2008," tambah Huriyah.
Baca Juga: Di Tengah Tekanan Ekonomi, Bank BJB Optimistis Kinerja Kredit Tetap Tumbuh
Kedua, belum terbentuk level playing field. Ketiga, keterbatasan ruang lingkup diiringi skalabilitas yang sangat rendah. Keempat, kurang kompetitif. Kelima, biaya dana atau cost of fund relatif tinggi. Keenam, kurangnya edukasi, literasi dan awarness.
Sebagai solusi dari tantangan itu, Hurriyah mengatakan, sangat perlu dilakukan reformasi perundang-undangan dan peraturan perbankan syariah. Selanjutnya, harus dilakukan perbaikan peraturan, sarana dan prasarana untuk menciptakan level playing field yang sama dengan bank konvensional.
Kemudian, dia mengatakan, harus dilakukan perluasan ruang lingkup jenis kegiatan dan counterpart untuk peningkatan skalabilitas bank syariah itu. Dalam hal ini, ia merekomendasikan diterapkan bisnis universal. Sementara tantangan kurang kompetitif bisa diatasi dengan menerapakan dua banking leverage model.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News