Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mendekati akhir tahun 2018, rasio kredit bermasalah (NPL) industri perbankan trennya menurun. Sampai Oktober 2018 berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio NPL industri perbankan sebesar 2,66% atau lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yakni 2,96%.
Meskipun NPL perbankan menurun, Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean dalam paparan akhir November 2018 lalu mengatakan, risiko kredit atau loan at risk masih tinggi. Risiko kredit ini adalah rasio penjualan kredit bermasalah plus kredit dalam perhatian khusus ditambah lagi dengan kredit yang direstrukturisasi.
Untuk mengatasi risiko kredit dan rasio kredit bermasalah yang cukup tinggi ini, salah satu opsi yang bisa diambil bank adalah penjualan NPL. Nah, sejumlah bank menempuh cara ini, seperti PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) dan PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW).
Dalam salinan dokumen yang diperoleh kontan.co.id, Maybank Indonesia mengumumkan kepada nasabahnya bahwa mulai 29 November 2018 telah melakukan pengalihan piutang kartu kredit dan personal loan.
“Penjualan NPL ini dilakukan kepada perusahaan Collectius AG,” tulis pengumuman Maybank Indonesia ini. Dikonfirmasi soal ini, Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria mengatakan, NPL kartu kredit yang dijual ini sebesar Rp 3 triliun. “Ini merupakan NPL kartu kredit lama yang tidak tertagih dalam 10 tahun terakhir,” kata Taswin kepada kontan.co.id, Kamis (6/12).
Maybank juga sudah membuat pengumuman bahwa beberapa tagihan kartu kredit sudah dialihkan ke pihak lain. Sayang, Taswin belum mau merinci berapa recovery rate terkait penjualan NPL kartu kredit ini.
Sementara, Bank QNB Indonesia pada 1 Desember 2018 lalu juga telah menandatangani perjanjian untuk menjual dan mengalihkan piutang 16 debitur kepada BDFK Limited sebesar Rp 1,23 triliun.
“Penjualan kredit bermasalah ini dilakukan kepada BDFK Limited, perusahaan afiliasi yang berada di Cayman Islands,” tulis manajemen Bank QNB Indonesia dalam keterbukaan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (3/12).
Aksi korporasi ini akan memperbaiki rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) Bank QNB. Hitungannya, NPL gross akan turun dari 4,16% menjadi 2,61% dan NPL nett akan mengecil dari 2,61% menjadi 1,96%.
Dalam perjanjian tersebut, BDFK akan membayar kredit bermasalah tersebut dengan opsi pembayaran tunai senilai US$ 16,92 juta atau sekitar Rp 245,31 miliar. Sisanya dibayar dengan obligasi dalam denominasi rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Wholesale Banking Bank Permata Darwin Wibowo menyebutkan, untuk mengatasi NPL, bank akan mengeksplorasi semua opsi yang ada. “Termasuk menjual kredit bermasalah, namun biasanya ini merupakan opsi yang terakhir,” kata Darwin kepada kontan.co.id, Kamis (5/12).
Bank Permata sendiri pada Maret 2017 pernah menjual NPL senilai Rp 1,12 triliun kepada perusahaan asal Luksemburg, yaitu CVI CVF III LUX Master SARL.
Direktur Bisnis Banking CIMB Niaga Frans Alimhamzah menimpali, penjualan NPL merupakan opsi yang bisa diambil bankir untuk menyelesaikan kredit bermasalah dengan cepat. “Penjualan NPL bisa menurunkan kredit bermasalah dengan cepat,” kata Frans kepada kontan.co.id, Kamis (5/12).
Berbeda dengan bank swasta yang cukup mudah untuk menjual NPL, bank BUMN lebih agak sulit karena terkendala aturan dan undang-undang. “Kami tidak melakukan penjualan kredit bermasalah,” kata Panji Irawan, Direktur Keuangan Bank Mandiri kepada kontan.co.id, Kamis (6/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News