Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) telah menyalurkan pendanaan sebesar Rp 2,5 triliun di periode 2021 atau tumbuh lebih dari 2 kali lipat. Sebagai perbandingan, penyaluran pendanaan Amartha di periode 2020 sebesar Rp 1,2 triliun.
Sementara itu, Amartha juga berhasil menjaga kualitas pinjaman sepanjang periode tersebut. Perusahaan mencatatkan NPL (non performing loan) stabil di kisaran 0,30%.
Adapun, penyaluran pendanaan ini merupakan kontribusi dari berbagai pendana, baik pendana institusi seperti perbankan maupun pendana ritel individu.
Amartha cukup gencar melakukan kolaborasi strategis dengan sektor perbankan seperti BPD, BPR, maupun bank Nasional untuk mengakselerasi penyaluran pendanaan bagi UMKM di pedesaan, porsinya di atas 60% dari total pendana.
Baca Juga: Ini Rencana Pemain Fintech P2P Lending Perkuat Permodalan di Tahun Depan
CEO sekaligus Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra, menjelaskan bahwa pihaknya selalu berupaya untuk memberikan pelayanan keuangan berbasis digital bagi para pengusaha UMKM di berbagai daerah, mulai dari akses permodalan hingga penyediaan layanan Amartha+ untuk menunjang produktivitas para mitra di tengah pandemi.
“Penerapan kebijakan credit scoring berbasis machine learning juga turut berkontribusi untuk menjaga kualitas pinjaman sehingga menekan risiko gagal bayar,” ujar Taufan.
Sebagai informasi, penyaluran pendanaan telah dilakukan di sekitar 20.000 desa di ketiga pulau wilayah operasi Amartha yakni pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Penyaluran di luar Jawa lebih dominan dengan porsi sebesar lebih dari 60% dari total penyaluran.
Baca Juga: OJK catat pembiayaan produktif fintech terus melonjak
“Penyaluran di luar pulau Jawa juga terbukti lebih stabil dan berhasil menekan risiko gagal bayar, karena kondisi pandemi di luar pulau Jawa tidak separah di pulau Jawa, sehingga performa UMKM lebih baik,” imbuhnya.
Secara kumulatif, hingga awal 2022, Amartha telah menyalurkan pendanaan mencapai Rp 5,6 triliun. Jika dilihat berdasarkan historikal, dalam waktu dua tahun masa pandemi, jumlah kumulatif tersebut tumbuh tiga kali lipat jika dibandingkan jumlah kumulatif sebelum masa pandemi yakni sebesar Rp 1,8 triliun.