Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Industri bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) boleh unjuk gigi. Aset BPR berlandaskan hukum Islam ini setiap tahun rata-rata tumbuh 30,9% sepanjang empat tahun terakhir. Per Juni 2012, aset BPRS mencapai Rp 4,06 triliun atau naik 15,4% dibandingkan dengan realisasi akhir tahun lalu sebesar Rp 3,52 triliun.
Sayang, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan aset itu tidak dibarengi penyerapan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
Rata-rata peningkatan SDM di industri BPRS hanya 15,5% per tahun pada periode sama. "Padahal, rata-rata pertumbuhan jaringan kantornya lebih tinggi, yakni 18,8%," ujar Edy Setiadi, Direktur Eksekutif Departemen Perbankan Syariah BI, kemarin.
Sampai saat ini, BPRS mencatat memperkerjakan 4.261 orang. Dari tahun 2007–2011, penyerapan tenaga kerja di BPRS hanya meningkat tiga kali lipat. Sementara, penyerapan tenaga kerja di bank umum syariah (BUS) lima kali lipat atawa tumbuh 400,1%. Tak heran, jumlah pengawai BPRS kalah jauh dibandingkan dengan di industri perbankan umum syariah sebanyak 24.754 orang.
Memang, perbandingan jumlah SDM itu sangat timpang, soalnya aset BPRS juga kalah jauh dibandingkan perbankan umum syariah. Akhir semester I 2012, rata-rata karyawan BPRS mengelola aset Rp 950 miliar.Sedangkan di perbankan umum syariah, setiap pekerja mengelola dana Rp 6,28 triliun.
Menurut Edy, kondisi ini malah menguntungkan. Aset BPRS masih berpotensi meningkat lebih tinggi. Pun demikian, dengan penyerapan tenaga kerja, juga bakal lebih besar.
Hanya saja, Edy mengingat, disparitas antara pasokan dan kebutuhan tenaga kerja di Indonesia masih timpang jauh, baik di industri syariah maupun konvensional. Tak heran, turn over alias bajak membajak tenaga kerja di industri syariah (perbankan, multifinance, dan asuransi) meningkat 10% pada 2010. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, praktik bajak-membajak pegawai itu hanya mencapai 5% per tahun.
Dengan kondisi itu, Agustianto, Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam, menghitung kebutuhan SDM industri syariah mencapai 140.000 mulai tahun ini. Bila ketersediaan SDM tidak dipersiapkan dengan matang, bukan tidak mungkin praktik bajak-membajak tersebut semakin besar terjadi.
Oleh karenanya, lembaga keuangan syariah perlu melakukan perekrutan baru sumber daya manusia dan memperbesar peran lembaga pendidikan keuangan syariah. Itu termasuk menyediakan dana pendidikan dan pelatihan ini, serta pembuatan kode etik untuk mencegah pembajakan pegawai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News